Lihat ke Halaman Asli

Maria G Soemitro

TERVERIFIKASI

Relawan Zero Waste Cities

#SaveBabakanSiliwangi, Misi Penyelamatan Hutan Kota

Diperbarui: 30 September 2015   14:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1365348727622366882

[caption id="attachment_253469" align="aligncenter" width="576" caption="hutan Babakan Siliwangi (dok. HUB)"][/caption]

“Jika pohon terakhir telah ditebang, ikan terakhir telah ditangkap, maka barulah kita sadar bahwa manusia tidak dapat memakan uang”

Ungkapan diatas sungguh mengena, manakala hutan kota Babakan Siliwangi diperjuangkan oleh penggiat lingkungan hidup Bandung sementara walikota Bandung bersikukuh mengizinkan pembangunan rumah makan di area tersebut dengan alasan agar pengunjung hutan kota Babakan Siliwangi bisa makan dan minum di tempat itu.

Keputusan walikota Bandung mungkin merupakan suara berbagai pihak yang berpendapat:”Toh hanya satu bangunan kecil yang menempati area demikian besar”. Tetapi tidak ada asap tanpa api. Sebelum Pemerintah Kota Bandung mengizinkan pembangunan Gedung Sasana Budaya Ganesa (Sabuga) ITB dan Sarana Olahraha (Sorga), luas hutan kota Babakan Siliwangi adalah 7,1 ha dan kini tersisa 3,8 ha, berbentuk tapal kuda.

Babakan Siliwangi bak oase di tengah kota. Tepatnya dulu bernama Lebak Gede yang berarti lembah besar terletak di antara Dr. de Grootweg (sekarang Jln. Siliwangi), Huygenweg (sekarang Jln. Tamansari) dan Sungai Cikapundung di sebelah baratnya. Sejak awal merupakan lahan terbuka hingga sekitar tahun 1990-an. Ikon panoramanya adalah Villa Mei Ling karya arsitek F.W. Brinkmann (1930), yang terletak di puncak jajaran bukit di bagian utara.

Kawasan lindung ini pernah memiliki 7 mata air, 48 jenis pepohonan dan 24 jenis burung diantaranya Madu Kuning atau Sriganti, Cekakak Jawa, Cekakak Sungai dan Elang Alap Cina. Dari tujuh mata air hanya tersisa satu karena digunakan ITB dan tertutup bangunan. Kondisi mata air nyaris tidak terawat dan hanya digunakan tunawisma sebagai mandi cuci kakus (MCK).

[caption id="attachment_253470" align="aligncenter" width="467" caption="mata air tersisa (dok. HUB)"]

13653487961682037420

[/caption]

Berbagai alih fungsi yang dialami, Babakan Siliwangi tetap menjadi paru-paru yang menjaga kualitas udara Kota Bandung dari polusi. Dalam sehari, mampu menyuplai oksigen untuk 15.600 jiwa. Hal inilah yang mengundang keresahan penggiat lingkungan, salah satunya Acil Bimbo yang berujar: “Ngan boga sakieu-kieuna, terus deuk dijieun rumah makan. Ieu ngabuktikeun birokrat lebih resep investor dibanding hutan kota (Cuma punya sedikit, terus mau dibuat rumahmakan. Ini membuktikan birokrat lebih senang investor dibanding hutan kota)” atau lebih tepatnya birokrat lebih peduli pada investor daripada kesejahteraan masyarakat yang membutuhkan pasokan oksigen.

Karena itu penggiat lingkungan Bandung menggandeng Kementerian Lingkungan Hidup untuk mendeklarasikan Babakan Siliwangi sebagai Hutan Kota (the world city forest) pada perhelatan “Tunza International Children & Youth Conference On the Environment 2011. Deklarasi yang diakui dunia. Hutan kota bagi lingkungan yang berkelanjutan.

Sebagai hutan kota, baku mutu Babakan Siliwangi  telah melebihi batas maka daerah tersebut bukan merupakan resapan air tetapi aliran air dan tangkapan air hujan serta berfungsi melindungi kawasan di bawahnya. Di beberapa lokasi nampak sisa penebangan dan pembakaran sedangkan sisi lainnya penanaman kembali oleh peserta Tunza dan diteruskan oleh para penggiat lingkungan hidup. Sebelum pengesahan sebagai Hutan Kota, penggiat lingkungan hidup seolah kucing-kucingan dengan pihak pemerintah Kota Bandung yang berharap menjadikan Babakan Siliwangi sebagai area komersil.

Sekitar tahun 1970-an disisi area menuju jalan Siliwangi pernah berdiri rumah makan milik Pemerintah Kota Bandung yang bangkrut diawal tahun 2000-an. Tahun 2003, beberapa bom Molotov menghancurkan bangunan rumah makan tersebut. Tidak ada yang bertanggungjawab terhadap pembakaran tersebut. Di kemudian hari PT EGI mendapat izin mendirikan kembali bangunan rumah makan di atas lahan yang terbakar.

Para penggiat lingkungan mengkhawatirkan izin tersebut disalah gunakan menjadi berbagai bangunan komersil lainnya, karena PT. EGI merupakan pengembang bangunan komersil seperti hotel, apartemen dan mall. Sudah banyak kasus terjadi, ketika tiba-tiba bangunan sekolah internasional bertengger di daerah Punclut, suatu daerah resapan air Kota Bandung. Atau suatu hotel di jalan Dago tiba-tiba berekspansi dan memasuki kawasan perumahan. Walaupun terlarang, tapi tidak ada tindakan tegas apalagi merobohkan bangunan yang berdiri di kawasan yang bukan peruntukannya. Bahkan pengembang menyiapkan berlapis pengaman pada waktu persiapan dan pembangunan, berbagai protes masyarakat sekitar dianggap angin lalu.

Karena itu penggiat lingkungan seiya sekata, menolak pembangunan apapun. Sudah begitu banyak contoh arogansi pemerintah Kota Bandung dan pengusaha yang menafikan kebutuhan asupan oksigen penduduk Kota Bandung.  

[caption id="attachment_253473" align="aligncenter" width="432" caption="menanami hutan kota (dok. HUB)"]

1365348992610122181

[/caption]

Kota Bandung terletak dalam cekungan danau purba, Jumlah penduduk Kota Bandung berkembang melebihi estimasi deret ukur. Penyebabnya bukan saja penduduk asli enggan pindah ke daerah lain, tetapi juga penduduk daerah lain berdatangan ke Kota Bandung bak semut mengerumuni gula. Sehingga dalam relatif singkat penduduk Bandung berjumlah 2, 4 juta jiwa. Jumlah tersebut melesat lebih banyak tatkala siang hari para komuter yang berdomisili di luar kota Bandung berdatangan mencari nafkah di kota Bandung.

Mengacu pada UU RI No 26 tahun 2007 seharusnya setiap kota memiliki ruang terbuka hijau (RTH) sebanyak 30 % dari luas wilayah kotanya. Sedangkan Perda No.3 tahun 2006 tentang penataan ruang dan wilayah Kota Bandung seharusnya memiliki 10 % RTH yang baru terpenuhi 6 %. Sehingga jelas jika pemerintah Kota Bandung bersikukuh mengizinkan bangunan apapun di kawasan hutan kota Babakan Siliwangi, maka pemerintah kota Bandung tidak hanya menyepelekan kebutuhan pokok warga masyarakatnya yaitu pasokan oksigen tetapi juga melanggar regulasi yang telah disepakati bersama.

Sebetulnya hutan Babakan Siliwangi tidak hanya berfungsi sekedar RTH, tetapi juga tempat pecinta seni, penggiat budaya dan aktivis lingkungan berkegiatan. Dari arah jalan Siliwangi, melewati bekas rumah makan yang terbakar, dengan mudah ditemukan sanggar-sanggar seni yang menerima dengan tangan terbuka siapapun yang ingin belajar disitu.

Secara periodik, Hayu Ulin di Baksil (HUB), Komunitas Sahabat Kota (KSK), Ganesha Hijau, Sahabat Wahana Lingkungan Hidup (SaWa) dan beberapa komunitas lainnya berkumpul serta berinteraksi intens di hutan Babakan Siliwangi dan menjadikannya ruang publik. Tidak hanya tempat berolahraga dan pergelaran seni, beberapa komunitas mengisi kegiatan dengan melukis seng yang berfungsi sebagai pagar hutan Babakan Siliwangi.

Di salah satu sudut hutan, terdapat sarana pamidangan domba yang digunakan sebulan sekali oleh komunitas HPDKI (Himpunan Peternak Domba Kambing Indonesia) Jawa Barat untuk mengadakan seni adu domba. Setiap diadakan seni adu domba selalu mengundang banyak massa untuk menonton hingga hutan kota tersebut menjadi hutan kota yang sesungguhnya dengan adanya aktivitas publik yang positif di dalamnya dan bukanlah sekedar hutan belantara. 

[caption id="attachment_253471" align="aligncenter" width="576" caption="domba (dok. Ranti/Ganesha Hijau)"]

13653488762033611057

[/caption]

Sehingga ketika petisi penolakan terhadap bangunan apapun di atas kawasan hutan Babakan Siliwangi tahun demi tahun digaungkan tanpa mengenal lelah maka seharusnya pemerintah Kota Bandung lebih memahami kebutuhan warganya. Karena mereka dipilih untuk menyejahterakan kehidupan warga bukan pengusaha apalagi kantong pribadi.

Sebesar apapun uang yang akan masuk ke pendapatan asli daerah (PAD) Bandung, tidak akan ada artinya jika warga Kota Bandung kekurangan pasokan oksigen bahkan terancam hidup dalam kubangan polutan.

“Baheula Parijs van Java, ayeuna borok jeung kusta. Baheula diriung gunung ayeuna heurin ku tangtung.” (Dul Sumbang)

**Maria G. Soemitro**

sumber data:

www.change.org

walhi.or.id 

[caption id="attachment_253474" align="aligncenter" width="576" caption="dok. Sahabat Kota"]

1365349050732545022

[/caption]



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline