Lihat ke Halaman Asli

Yulius Maran

Educational Coach

Meretas Jalan Merdeka: Mengapa Kurikulum Merdeka Baru Muncul Tahun 2020 dan Ditetapkan Menjadi Kurikulum Nasional di Tahun 2024?

Diperbarui: 4 Mei 2024   13:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: https://www.shutterstock.com/

Pengantar

Tahun 2020 menjadi saksi kemunculan Kurikulum Merdeka, sebuah angin segar dalam dunia pendidikan Indonesia. Berbeda dengan pendahulunya, kurikulum ini mengedepankan kemerdekaan belajar bagi murid dan fleksibilitas bagi sekolah. Munculnya Kurikulum Merdeka di era pandemi COVID-19 mungkin memicu pertanyaan: Mengapa kurikulum ini baru hadir di tahun 2020 dan ditetapkan sebagai kurikulum nasional di tahun 2024?

Pertanyaan ini wajar muncul, mengingat pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang kemerdekaan belajar telah lama diketahui. Jawabannya terletak pada kompleksitas sistem pendidikan dan dinamika sosial yang mewarnai perjalanan bangsa. Implementasi filosofi Ki Hadjar Dewantara membutuhkan waktu, proses penyesuaian, dan konsistensi dalam penerapannya.

Perubahan kurikulum atau sistem pendidikan secara komprehensif dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk dinamika politik (pemerintahan) dan budaya. Di era sebelumnya, berbagai kurikulum silih berganti, tak jarang melenceng dari esensi kemerdekaan belajar. Faktor-faktor seperti tuntutan globalisasi, tekanan tes standardisasi, dan kurangnya pemahaman terhadap filosofi Ki Hadjar Dewantara menjadi hambatan dalam implementasi kurikulum yang berpusat pada murid.

1. Menelusuri Jejak Kemerdekaan Belajar

Menelusuri Jejak Kemerdekaan Belajar: Jauh sebelum tahun 2020, cikal bakal pemikiran tentang kemerdekaan belajar telah tertanam dalam filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia. Beliau mengemukakan konsep "pendidikan berdasarkan kemerdekaan" yang menekankan pada kemerdekaan murid untuk berkembang sesuai kodratnya. Konsep ini menjunjung tinggi kemandirian, kreativitas, dan karakter murid, selaras dengan nilai-nilai Pancasila.

Perjalanan yang Tidak Mudah: Meskipun pemikiran Ki Hadjar Dewantara telah lama dikenal, implementasinya tidak selalu berjalan lancar. Berbagai kurikulum telah berganti-ganti, dan terkadang jauh dari esensi kemerdekaan belajar yang diinginkan. Kurikulum yang ada belum sepenuhnya mewujudkan semangat kemerdekaan belajar sesuai dengan konsep Ki Hadjar Dewantara.

1Hadirnya Kurikulum Merdeka

Di bawah kepemimpinan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, semangat Ki Hadjar Dewantara kembali ditekankan melalui Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini mencoba mengembalikan esensi pendidikan yang sesuai dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara, yang mengutamakan kemerdekaan, kemandirian, dan kreativitas murid.

Asas Trikon dalam Kurikulum Merdeka: Sebagai pemikiran Ki Hadjar Dewantara, Kurikulum Merdeka memasukkan asas trikon sebagai landasan filosofisnya. Asas trikon mencakup tiga pilar utama, yaitu asas kontinuitas, asas konvergensi, dan asas konsentris. Asas kontinuitas menekankan pentingnya menjaga kesinambungan dengan nilai-nilai luhur bangsa dan budaya Indonesia yang telah tertanam dalam pendidikan sebelumnya. Kurikulum Merdeka tidak menghapuskan nilai-nilai positif dari kurikulum lama, melainkan memperkuat dan menyelaraskannya dengan konteks zaman saat ini. Asas Kontinuitas ini sangat penting untuk, menjaga identitas bangsa dan budaya Indonesia dalam pendidikan, menghormati dan menghargai sejarah perjalanan pendidikan di Indonesia, memanfaatkan warisan budaya dan nilai-nilai luhur bangsa sebagai landasan pengembangan karakter murid.

Asas konvergensi menekankan pentingnya keselarasan dan koherensi antara berbagai aspek pendidikan. Kurikulum Merdeka bertujuan untuk menyatukan berbagai elemen pendidikan, seperti kurikulum, pedagogi, asesmen, dan pengembangan profesionalisme guru. Asas Konvergensi sangat penting untuk menciptakan sistem pendidikan yang terpadu dan efektif, menghilangkan duplikasi dan inkonsistensi dalam pembelajaran dan untuk memastikan semua komponen pendidikan saling mendukung dan memperkuat satu sama lain. Beberapa contoh penerapan asas konvergensi, antara lain: Mengembangkan kurikulum yang selaras dengan pedagogi yang berpusat pada murid, melaksanakan asesmen yang mengukur berbagai aspek kompetensi murid, bukan hanya pengetahuan hafalan dan memberikan pelatihan dan pendampingan guru yang berfokus pada pengembangan keterampilan mengajar yang efektif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline