Lihat ke Halaman Asli

Roni Ramlan

Pembelajar bahasa kehidupan

Merenung

Diperbarui: 1 September 2020   11:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dua puluh empat jam lebih aku menerka-nerka takdir hidupku
Melangit-langitkan tinggi fantasi setiap isian kepalaku
Lantas tak heran jika banyak orang mendapati bekas nyernyit di dahiku
Menyisakan gurat lebih dari satu

Umurku masih belia, namun siapa yang tahu-menahu
Di kala aku membual banyak pertanyaan tentang belahan jiwaku
Tatkala aku menatap tajam ke cermin penghakiman akhir hayatku
Dan tetap saja, sang ajal tak pernah bertutur kapan ia menghampiriku
Bahkan sekadar mengibaskan sedikit tabir rahasianya tak pernah mau

Aku mematung, sibuk membenturkan ingatan, kenangan dan kehendakku
Sementara keniscayaan tetap saja menjadi bayang-bayang kecemasan baru
Dan itu, bukan sekadar datang sesaat kemudian di hari Sabtu ataupun Minggu
Melainkan di penghujung sesumbar keakuanku

Aku tersentak mendapati segerombolan manusia tak dikenal begitu khusyuk menghujatku
Seakan-akan ia benar-benar sedang bertemu kekasih hatinya terluput peleton rindu
Sementara aku semakin membisu
Kedua bibirku dingin menjadi kaku
Serasa lebam sedikit membiru
Dan parau suaraku benar-benar telah sirna termakan malu

Pun aku hanya mampu termangu,
Menutupi gelagat coreng merah di atas buku amal perbuatanku
Aku takut ini-itu
Hingga campuraduk pun menjadi pusaran rasa yang membalut kujur awakku
Sempurna sudah riwayat singkat kecacatanku
Dan berlagak pilon ajian ajimatku

Aku tak pernah mengira atmaku akan mengadu
Mengadili perkara yang kusebut kesenangan palsu
Kenikmatan nan kian menggunung menjadi candu
Ganjaran dan dosa itu kini akan banyak dipertontonkan di wajah pasi yang tak lagi dapat menipu

Pikiranku kembali menginjak bumi
Namun ketika itu justru kutemukan jumlah rambutku semakin tipis
Bahkan ubanku kian beranak-pinak
Kini jatah hidupku di atas tanah terus berkurang tak dapat ditepis
Dan semoga saja tumpukan usahaku tidaklah mangkrak

Sengkarut keliaran pikir pun terseok menuding haluan
Rasa-rasanya ini waktu yang tetap teruntuk mencecar caraku menghadap Tuhan
Caraku memasrahkan diri tepat keharibaan
Menyisir banyak tentang pemujaanku di balik  marwah menghadap tuan

Apa telah benar penghambaanku di pergantian malam dan siang?
Apa telah tepat sujudku di sepertiga malam?
Apa telah benar aku memahami keagungan Tuhan di hamparan penciptaan?
Apa telah tepat caraku merengkuh keyakinan?

Ah, aku tak kuasa meraba-raba lebih jauh kemudian
Menerobos masuk lebih dalam membombardir borok dan kerapuhan
Linangan sesalku telah banyak menyesakkan
Asaku telanjur lacur dengan angan
Sementara aku semakin kerdil dalam kenistaan

Namun, aku menahu tentang sedikit sifat Tuhan
Yang takan pernah mampu mengacuhkan
Bahkan kasihnya masif tercurahkan
Meskipun itu segelintir mereka-mereka justru banyak berdebat tentang pengingkaran
Sementara nafas panjang kehidupannya tidak lain jelmaan kekuasaan

Tertanda si kecil papa
Perenung nikmat yang singgah di ruas insomnia

Tulungagung, 1 September 2020




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline