Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Malindo

Pekerja Kata

Semakin Runcing Menggigit Kulit Leher

Diperbarui: 18 April 2023   08:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

(T & M)

Beralih rupa ini pantai penuh tiang serta temali. Gadis lugu yang suka menyanyi kecil di pagi jingga  turun ke kapal. Barangkali ikut lumutan nasibnya di punggung pelampung perusahan asing itu. Mulai bertiram muka waktu kulihat di ujung keningnya yang tipis menyayat batin.

Malam ini aku bertandang ke rumahnya. Ia malu, aku pun asing. Kami tak lagi membahas tentang buku-buku, kata, atau makna yang gagal mendongkel rahasia demi rahasia.

Sempat kereguk kopinya sampai dasar. Malam ini,  jika harus pulang tanpa menyanjungnya, setidaknya ada alasan untuk tidak jengkel pada embun di ujung rambutnya. Sebetulnya aku bisa menyanyi ambil jiwanya antar ke rumput yang bergoyang itu. Namun, rintik pantai terlalu derai untuk jiwa yang deras dalam senyap.

Kelahi kucing di rumah sebelah bagai perseteruan jenazah bersama mungkar dan nakir. Belum lagi angin timur yang menggoyang ranting waru semakin runcing menggigit kulit leher. Segera kami tertawa mendengar suara kaleng kosong digocek-gocek kaki kepiting darat itu.

Aku peluk gitarnya dingin, ia pangku tanganku menggigil. Kami bicara dengan suara yang nyaris tak terdengar. Baru setelah itu aku pura-pura melengos sambil men-takcle kaki meja agar gelas kopinya tumbang. "Kalau sudah ngantuk, silakan pulang, sebelum hujan melempar dingin ke kuping gelas. Atau mukamu yang 'kan merah kutusuk rindu?" Ia berbisik sambil menggeser tangan kiriku ke arah ulu hatinya. "Di sini ada luka mirip mukamu yang kecut bercinta habis-habisan."

Mekko 2023




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline