Lihat ke Halaman Asli

Borjuisme Kemakmuran

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Melihat pemberitaan tentang terbitnya Peraturan PresidenNomor 39 tahun 2015 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka Bagi Pejabat Negara Untuk Pembelian Kendaraan Perorangan sedikit menyentak rasa keadilan di tengah banyaknya polemik kesejahteraan di negeri ini. Kebijakan pemerintah ini tidak terkait dengan hajat hidup orang banyak namun kepada kebutuhan perorangan dari pejabat Negara.

Belum lama rakyat dibingungkan kembali dengan naiknya harga bahan bakar minyak akibat subsidi yang dikurangi, menyebabkan naiknya kembali harga-harga bahan pokok serta kebutuhan dasar lainnya seperti transportasi, biaya listrik, harga gas elpiji, biaya buku anak sekolah, dan lain-lain. Situasi yang sangat tidak diinginkan oleh banyak rakyat yang masih mengais rejeki di kolong langit Indonesia.

Rakyat jelata harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.. Petani di sejumlah daerah dicekik akibat melambungnya harga pupuk bersubsidi (Berita: http://www.tempo.co/read/news/2015/01/30/058638846/Harga-Pupuk-Bersubsidi-Tembus-Rp-230-Ribu). Sejumlah nelayan tidak sanggup lagi melaut karena mahalnya biaya operasional jika dibandingkan dengan penghasilan mereka (Berita: http://finance.detik.com/read/2015/03/04/153203/2849469/4/protes-harga-solar-mahal-nelayan-aceh-berniat-jual-kapal). Supir angkutan umum harus berjibaku untuk mengakali keuangan mereka agar cukup memberi makan anak dan istri (Berita: http://koran.tempo.co/konten/2015/03/31/369042/Harga-BBM-Naik-Sopir-Angkutan-Pedesaan-Mogok).

Kondisi sulit itu tidak hanya dialami oleh rakyat “kasta” bawah, namun juga dialami oleh mereka di kasta menengah. Beberapa tenaga profesional harus mengencangkan ikat pinggang dikarenakan hak-hak mereka tidak juga diberikan oleh pemerintah. Penderitaan dokter di Kabupaten Nias Selatan yang belum mendapatkan jasa medic sebagai kompensasi melayani masyarakat peserta BPJS Kesehatan menjadi perhatian banyak pihak (Berita: http://regional.kompas.com/read/2015/03/27/16360071/Dana.Kapitasi.dan.Insentif.Belum.Cair.Sejak.2014.Dokter.di.Nias.Menangis). Bukan pada predikat pekerjaannya, namun titik beratnya kepada penunaian hak-hak warga Negara.

Masih dalam keadaan berkerut kening ini melihat kondisi yang ada, berita tentang masuknya Indonesia dalam zona Daurat Gizi (Berita: http://www.antaranews.com/berita/488973/indonesia-masuk-dalam-zona-darurat-gizi). Hal ini menambah kecamuknya pemikiran akan ironi terhadap kebijakan penguasa di republik ini. Keadilan akan kemakmuran dan kesejahteraan ternyata masih milik mereka kaum borjuis.

Borjuisme kemakmuran sebenarnya sudah masuk ke dalam struktur DNA pemimpin negeri ini. Berabad-abad dijajah oleh bangsa Eropa dengan kultur yang mengutamakan kaum borjuis sepertinya diturunkan kepada rakyat Indonesia yang ditakdirkan untuk memimpin negeri ini. Rakyat masih dipandang sebagai taman bunga, dimana bunga mawar, melati, anggrek, bunga sakura dan tulip saja yang dirawat. Sedangkan sejenis bunga sepatu dan tanaman tanpa bunga dianggap tanaman liar semata. Bahkan bunga dan tanaman liar itu dihancurkan dan dijadikan kompos bagi tanaman bunga lain.

Berhentilah bicara kepentingan rakyat jika masih menggunakan kacamata hitam memandang keadilan. Berhentilah bicara kemakmuran jika tidak pernah memegang timbangan akan keadilan. Berhentilah bicara tentang kejayaan jika masih merasa budak jajahan.

Semoga Tuhan ampunkan kesalahan dan berikan jalan keluar dengan nalar dan kebijaksanaan. Amin




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline