Lihat ke Halaman Asli

Mahbub Setiawan

TERVERIFIKASI

Bukan siapa-siapa

Ketika Imperatif Kategoris Mulai Terkikis

Diperbarui: 14 Februari 2018   19:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (nrp.org)

Beberapa minggu belakangan, media diramaikan macam-macam kasus yang mengoyak moral dan perasaan manusia sebagai makhluk etis. Mulai dari tindakan brutal seorang murid sampai tindakan penyerangan tokoh agama dan tempat ibadah.

Fenomena-fenomena itu seperti membuktikan mulai hilangnya satu sisi standar kebaikan dalam diri manusia zaman sekarang. Terkikisnya ukuran-ukuran kebenaran dan kebaikan yang merupakan bawaan sejak lahir.

Ada apa dengan semua ini? Padahal manusia Indonesia adalah manusia religius. Manusia yang sejak dahulu terkenal dengan tingkat toleransi yang tinggi. Bangsa yang dikenal dengan sikap gotong royong tanpa mempertimbangkan unsur SARA yang ada.

Berubahnya Bobot dan Porsi Keadilan

Fenomena ini menunjukkan bahwa keseimbangan dan keadilan sudah begitu jauh bergeser dari porsi yang seharusnya. Jika seseorang merasa diperlakukan tidak adil, tidak ada lagi takaran keadilan yang terukur jika yang bersangkutan ingin "balas dendam".

Selama pembalasan tersebut dirasakan memuaskan hatinya, tidak peduli apakah pembalasan itu melebihi batas-batas kewajaran ataupun tidak. Yang penting, seseorang puas melampiaskan "dendam kesumat" yang bersarang di dalam hati.

Teguran halus dibalas dengan bentakan. Bentakan dibalas dengan tamparan. Tamparan dibalas dengan kematian. Tampaknya, "grafik balas dendam" ini selalu meningkat dari titik awal menuju titik akhir penyelesaian.

Jika ada keharusan bahwa kebaikan mesti dibalas dengan kebaikan yang lebih besar, sekarang hal ini sudah mengalami kebalikan. Kebaikan terkadang tidak mendapatkan imbalan yang sewajarnya. Ia bisa dilupakan begitu saja oleh yang menerimanya.

"Umpan kebaikan" belum tentu akan mendatangkan "hasil kebaikan" juga. Sikap cuek telah menggeser naluri manusia untuk membalas kebaikan yang diberikan oleh seseorang. Acuh tak acuh telah menggantikan sikap yang seharusnya.

Dasar moral dan kewajiban berterima kasih sudah luntur oleh anggapan biasa-biasa saja. "Ah, itu bukan hal yang istimewa. Ah itu tidak seberapa. Ah itu tidak harus diperlakukan berlebihan". Begitu kira-kira respons yang ada di pikiran ketika mendapat kebaikan dari orang lain.

Pergeseran ini tidak saja terjadi di dalam interaksi kehidupan manusia yang sesaat seperti interaksi sekilas di tengah keramaian. Pergeseran ini bahkan telah masuk di dalam ranah interaksi yang intens; interaksi penuh keakraban.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline