Lihat ke Halaman Asli

Sulistyo

Buruh Dagang

Tahun Politik, "Perang Opini" dan Tanggung Jawab Moral Politisi

Diperbarui: 2 Januari 2018   23:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahun 2018 dan 2019 seringkali belakangan ini disebut sebagai tahun politik. Tahun yang diperkirakan mengundang "suhu politik memanas" khususnya menjelang pelaksanaan Pilkada 2018 disusul Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden yang akan diselenggarakan secara serentak di tahun 2019.

Untuk Pilkada dalam hal ini Pemilu Gubernur (Pilgub) saja skarang mulai bisa dilihat dukung mendukung terhadap para calon yang hendak dijagokan. Beberapa parpol sudah mulai nampak berkoalisi untuk mengusung kandidat seperti telah diwacanakan dan diberitakan melalui media massa.

Seperti Pilgub Jabar, Pilgub Jateng, dan Pilgub Jatim hampir setiap saat terus mewacana belakangan sehingga bukan tidak mungkin di wilayah --wilayah tersebut yang merupakan paling banyak jumlah pemilihnya dan pastinya akan berkorelasi dengan suhu politik di masing-masing tempat. Ini dapat dibaca sebagai awal kontestasi antarparpol dan kandidat yang diunggulkan untuk bertarung dalam pemilihan.

Suhu politik diprediksi akan meningkat manakala tahapan pemilu berupa kampanye mulai ditabuh. Hiruk pikuk politik praktis yang biasanya dibarengi "perang opini" para juru kampanye untuk meraih simpati publik maupun suara pemilih akan terdengar gaungnya. Tradisi politik dengan mengumpulkan massa pendukung atau simpatisan juga akan menambah maraknya "pesta demokrasi" yang berlangsung setiap lima tahunan tersebut.

Dan lagi yang tak lepas dari kebiasaan dalam sikap atau perilaku para politisi yang selalu memobilisasi massa pendukung -- seolah show of force di tengah karakter masyarakat yang masih rentan konflik sosial -- jika tak terkendali hanya akan menambah kegaduhan suasana dan menambah masalah baru.

Lebih menyedihkan lagi bilamana isu agama disangkut pautkan dengan kampanye guna meraup suara dan simpati pemilih. Ini seharusnya layak diantisipasi sekaligus dihindari karena agama bukan untuk dimanfaatkan sebagai alat perjuangan politik. Penggiringan terhadap massa untuk melanggengkan politik aliran sudah saatnya ditinggalkan.

Ditengah proses pendidikan politik warga yang masih belum optimal, disamping bangunan demokrasi yang kalau boleh dibilang masih sedang mencari bentuk -- maka sudah saatnya para politisi mengambil posisi sebagai agen pembangunan dan pembaruan politik. Jangan hanya memaknai politik sebatas pada tataran kekuasaan saja.

Oleh sebab itulah langkah-langkah yang perlu dikemukakan adalah bagaimana membangun demokrasi yang dipraktekkan dalam pemilihan umum (Pilkada, Pilpres/Pilwapres) yang muaranya menjadikan sebagai upaya mencapai perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini semua merupakan tanggung jawab moral para politisi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline