Lihat ke Halaman Asli

Leya Cattleya

TERVERIFIKASI

PEJALAN

Selamat Hari International Pendidikan, Perjalanan dari Babilonia ke Pasca Milenial

Diperbarui: 25 Januari 2019   06:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Stephane Bidouze/Shutterstock.com

Selamat Hari Internasional Pendidikan !

Ucapan ini saya tujukan kepada para murid, guru serta orang tua, para pendahulu yang membangun sistem pendidikan dan mereka yang saat ini masih bergiat di dunia pendidikan. Saya pernah menjadi guru selama lebih dari sepuluh tahun, dan saya merasa memiliki kewajiban untuk melihat kembali perjalanan panjang bidang pendidikan dalam peradaban kita. 

24 Januari 2019 adalah peringatan Hari Pendidikan Internasional yang pertama. Pada hari ini kita merayakan pendidikan sebagai bagian dari upaya perdamaian dan pembangunan dunia. 

Peringatan ini hendak pula menekankan bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia, merupakan barang publik (artinya bukan barang ekonomi yang harus bayar) dan pendidikan merupakan tanggung jawab publik. 

Pada akhirnya, pendidikan berkualitas adalah untuk semua dan dipercaya bahwa pendidikan akan memotong rantai kemiskinan.

Ini mandat publik yang luar biasa. Dan tentu tidak mudah bagi kita semua. Kenyataan tentang data 2017 masih menunjukan bahwa sekitar 262 juta anak dan remaja di dunia tidak sekolah, dan 617 juta anak dan remaja tidak bisa membaca. 

Kurang dari 40% anak perempuan di Sub-Saharan Afrika hanya menyelesaikan pendidikan dasar. Empat juta anak anak tidak sekolah. Artinya, janji kita tak terpenuhi. Artinya, hak untuk mendapatkan pendidikan dilanggar.

Realitas di tingkat global ini mengingatkan saya pada situasi di pengungsian akibat gempa beruntun yang terjadi di Lombok Timur akhir akhir ini.

Pada 2 September 2018 saya berniat menengok kawan karib saya, Zicko, Ketua Gema Alam NTB yang sejak peristiwa gempa Lombok pada tanggal 29 Juli 2018 telah mendampingi penyintas. 

Kawan kawan melakukan dengan segenap tenaga yang mereka miliki dan tanpa dukungan dana dari pihak lembaga manapun. Pada tanggal 2 September 2018 itu, kami sempatkan untuk berkunjung ke 5 titik paling terdampak dan bertemu dengan penyintas. 

Situasi di lapang membuat saya tidak bisa tidur. Ini situasi yang serius. Karena kurangnya dukungan para pihak kepada para penyintas gempa di Lombok Timur, membuat saya perlu tinggal cukup lama dan bolak balik ke Lombok Timur sampai dengan Desember 2018. Saya harus meninggalkan keluarga untuk lakukan ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline