Lihat ke Halaman Asli

Kang Chons

Seorang perencana dan penulis

Bencana Ekologis, Salah Siapa?

Diperbarui: 3 Februari 2021   21:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Masih lekat diingatan kita beberapa hari lalu sejumlah daerah mengalami bencana alam sebut saja yang paling besar adalah peristiwa banjir bandang di Kalimantan Selatan.

Seperti tahun tahun sebelumnya atau bahkan sejak manusia modern seperti saat ini ada, selalu kita memunculkan sebab tanpa tahu atau tidak mau tahu bahwa dibalik hukum sebab-akibat ada akar penyebab dan aktor penyebab. Saat pendekatan masalah hanya melihat pada sebatas permukaan, maka takkan ada perubahan berarti. Siklus alam akan terus menemui sumbatan karena telah melampaui daya dukungnya (supportive capacity).

Hujan dengan intensitas tinggi seringkali jadi kambing hitam, padahal hujan adalah sebuah siklus normal yang dialami sejak bumi ini ada. Kita lupa melakukan instropeksi diri terhadap cara pandang dan sikap yang memang telah bergeser seiring berubahnya tatanan kehidupan yang lebih condong pada bagaimana memperlakukan alam sebagai nilai tambah ekonomi untuk mencukupi keinginan manusia yang tak terbatas. Selama cara pandang antroposentrisme masih melekat, maka selama itu pula alam akan dipandang sebagai pemuas hasrat saja. Kapitalisasi sumber daya alam dan lingkungan adalah bagian terbesar sebagai akar penyebab utama degradasi kualitas lingkungan saat ini.

Kita lupa, bahwa alam tidak semata diukur atas kuantifikasi nilai manfaat ekonomi langsung, namun ada nilai tidak langsung yang  valuenya jauh lebih besar. Jasa lingkungan adalah bagian dari value yang diberikan alam pada manusia.

Tatanan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan telah bergeser jauh mengikuti sekehendak nafsu manusia. Kapitalisme jualah yang mengikis habis nilai nilai moral kearifan lokal (local wisdom). Padahal sikap "Arif" adalah kunci atau fondasi bagaimana melakukan pengelolaan sebuah sumber daya alam secara berkelanjutan.

Mana mungkin kita menyalahkan hujan, sementara alih fungsi lahan hutan (deforestasi) dibiarkan terus terjadi. Ironisnya, deforestasi lebih dominan disebabkan oleh eksploitasi sumber daya mineral (tambang) dan perkebunan sawit milik korporasi. Kepentingan ekonomi atas pundi pundi uang dalam mendorong PAD, dan PDRB disejumlah daerah telah membuka celah diskresi atas nama kepentingan ekonomi. Regulasi tata ruang wilayah bisa dengan mudah dirubah strukturnya manakala suatu kawasan punya nilai strategis ekonomi tinggi, kendati sekalipun ada pada zona inti kawasan konservasi.

Semua demi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, padahal RI adalah salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi internasional mengenai sustainable development bahkan menjadi bagian dari 159 negara yang menyatakan komitmen pada pencapaian SDGs.

Statistik Kementerian Kehutanan tahun 2011 mencatat, laju alih fungsi hutan (deforestasi) dalam kurun waktu tahun 2000 - 2010 mencapai 1,2 juta hektar per tahun. Dimana RI memiliki laju deforestasi tertinggi didunia.

Saya kira ini perlu menjadi catatan penting dalam setiap kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Harus ada prinsip kehati-hatian yang berorientasi pada kepentingan antar generasi.

"Teknologi bisa ditambah sesuai kebutuhan secara terukur, sementara kearifan lokal tidak bisa dikurangi". Itulah prinsip orang baduy yang mesti kita berfikir ulang tentang pentingnya kearifan itu.

Lalu, melihat fenomena bencana ekologis saat ini, siapa sebenarnya yang salah?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline