Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

Mozaik Sepi Pasien VIP

Diperbarui: 8 Maret 2019   06:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com

Tak perlu jauh-jauh ke Pulau Dewata untuk mendalami sepi. Tak perlu menunggu Hari Raya Nyepi untuk merasakan heningnya hati. Datang saja ke sayap timur rumah sakit besar di bilangan utara kota ini.

Malaikat tampan bermata sipit itu terbaring lemah. Satu tangannya menyentuh selang di hidungnya. Respirator? Infus? Elektrokardiograf? Life support? Untuk apa semua peralatan medis dipasangkan ke tubuhnya? That's not life.

"Silvi..." lirih Calvin berulang kali.

"Silvi, maafkan aku. Maaf, aku belum bisa menjagamu lagi..."

"Tak perlu minta maaf! Kalau kau merasa bersalah, keluarkan aku dari tempat ini! Aku ingin bertemu adikku!"

Pria orientalis berpiyama biru itu meneriaki suster. Lengan kanannya menghantam tepi ranjang. Kepalanya ia benturkan ke dinding.

"Tuan Adica, tolong jangan banyak bergerak dulu. Anda baru selesai cuci darah."

Darah. Tetesan darah mengalir dari hidung Revan. Laki-laki Manado Borgo berambut pirang itu menyeka hidungnya.

"Ya, Allah, sampai kapan aku harus merasakan sakit ini?"

Ini potongan mozaik terburuk dalam hidupnya. Calvin bahkan lebih suka menyepi bertahun-tahun di Papua New Guinea ketimbang terkurung di ruang rawat VIP. Ia benci, benci pada kondisi tubuhnya. Rumah sakit bagai penjara cinta. Penjara yang memisahkan Calvin dengan Silvi.

"Asyifa Assegaf...aku mencintaimu." Adica berbisik, suaranya bergetar hebat. Tertahan kesedihan dan frustrasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline