Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

Surat Terbuka untuk Kompasianer yang Saya Sayangi dan Belum Tentu Menyayangi Saya

Diperbarui: 1 Juni 2018   05:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dear Kompasianers yang saya sayangi dan yang belum tentu menyayangi saya,

Saya harap kalian selalu sehat dan bahagia, dimana pun kalian berada. Seperti menyiramkan alkohol ke atas luka, ketika menuliskan kata demi kata di surat cantik ini.

Betapa tidak enaknya menjalani masa transisi. Dari masa terindah sampai masa tersuram. Honestly, ini Ramadan tersuram dan tersunyi yang pernah saya rasakan. Saya betul-betul merasakan apa yang disebut kesepian di tengah umat seagama. Bagi saya, kesepian bisa membunuh sama efektifnya seperti kelaparan dan kesakitan.

Hingga hari ke16 Ramadan, saya tetap di sini. Sepi, sunyi, sendiri. Bila di luar sana orang-orang sibuk memenuhi undangan bukber dari berbagai grup pertemanan, saya tidak. Coba saya tanya, berapa undangan buka puasa bersama yang telah kalian terima? Berapa pula acara buka puasa bersama yang telah kalian ikuti? Pasti sudah banyak. Bisa setiap hari, bisa setiap minggu.

Bagaimanakah rasanya? Menyenangkankah? Ataukah bukber hanya ajang pamer semata? Ataukah acara buka puasa bersama seperti dua sisi mata pisau? Wallahu alam, saya yakin tiap orang punya pengalaman dan esensinya masing-masing dalam menghadiri momen yang satu ini.

Pamer atau bukan, kalian masih beruntung. Saya sama sekali tidak merasakannya selama Ramadan berlangsung setengah jalan. Tidak ada yang menginginkan kehadiran saya, saya tahu itu. Menjadi orang yang tidak diinginkan, menjadi pribadi persona non grata. Menjadi pribadi yang hanya dicari bila ada butuhnya saja. That's me.

Saya tahu, kenapa dalam kesenangan orang-orang yang berada dalam lingkup semua grup pertemanan yang saya ikuti, tidak mengajak saya. Alasannya hanya satu: tidak mau terbebani dan direpotkan. Nah, di sinilah letak kesadaran diri. Letak penerimaan diri. Bahwa saya ini merepotkan. Saya ini hanya bisa membebani. That's right.

For example, seperti acara yang kemarin diadakan grup kelas saya di hari ke15 Ramadan. Mereka berbuka puasa bersama, berfoto, dan saling bertukar kado. Hampir semuanya hadir kecuali saya. Keputusan saya untuk tidak hadir murni dari hati saya sendiri. Sebab saya tahu diri, seperti lagunya Maudy Ayunda. Tahu diri bahwa saya merepotkan, hanya bisa menjadi beban, membuat mereka tidak leluasa mengobrol, bergerak kesana-kemari, atau tidak ada yang memahami. Nah, inilah salah satu sisi tidak enaknya menjadi minoritas.

Seperti lagunya Rizky Febian, saya cukup tahu siapa diri saya. Berkaca saja dari kejadian ujian akhir semester lalu. Ketika saya butuh waktu lama untuk menemukan yang bisa membantu menuliskan, karena saya tak bisa menulis sendiri dengan tangan. Memangnya ada yang sadar? Memangnya ada yang peduli? Dosen yang mengawasi saja tak mau direpotkan. Saya cari sendiri.

Sendiri, satu kata itu menakutkan. Seseorang pernah mengajari saya untuk menikmati kesendirian. Bodohnya, saya pernah mencobanya dan gagal. Sekarang yang ingin saya lakukan hanyalah pasrah, membekukan hati, mendinginkan jiwa, dan melarikan diri dari sepi. Kompasiana adalah rumah yang nyaman untuk pelarian dari kesendirian.

Susahnya mencari orang baik. Saya tahu pasti. Sebagian besar orang di muka bumi ini jahat. Kalaupun ada yang baik, jumlahnya sedikit sekali dan nyaris tidak mungkin dijangkau oleh orang seperti saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline