Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

Ku Ungkapkan Perasaanku Melalui Tulisan

Diperbarui: 6 November 2017   09:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak kemarin, saya demam. Tapi saya bertekad tetap one day one article. Sakit bukan berarti inkonsisten, kan? Toh bukan penyakit yang membahayakan hidup, dan saya enggan mengatakannya pada siapa pun kecuali lewat tulisan. Karena saya tahu, takkan ada yang peduli.

Kali ini saya tidak ingin menulis fiksi. Menulis fiksi justru berat bagi saya di saat seperti ini. Lagi pula saya tidak punya energi untuk merangkai kata indah, menyanyikan lagu yang akan digunakan sebagai unsur musikal dalam kisah, dan bermain piano. So, saya tak mau yang berat-berat. Cukup menulis hal ringan saja.

Saya pribadi menjadikan kebiasaan menulis sebagai media katarsis, ajang berbagi, ibadah, dan tabungan amal kebaikan. Dalam agama yang saya anut, ada tiga amalan yang takkan putus sampai pelakunya meninggal: amal jariyah, ilmu bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan. Membuat tulisan dan mempublikasikannya akan memberikan sumbangan ilmu bagi para pembacanya. Meski saya tak tahu, tulisan-tulisan saya ini bermanfaat atau tidak.

Saya yakin, tiap Kompasianer di sini pasti punya motivasi tersendiri untuk menulis. Entah itu menulis pengalaman atau berbagi informasi. Di atas itu semua, menulis dapat digunakan sebagai terapi jiwa. Menulis efektif untuk mencurahkan ekspresi, gagasan, isi hati, dan membebaskan jiwa dari emosi negatif serta perasaan destruktif bagi jiwa itu sendiri. Dengan menulis, kita telah melakukan media katarsis. Secara psikologis, menulis membantu proses pelepasan emosi dan membuat orang yang melakukannya bangkit dari keterpurukan. Orang yang rajin menulis pun biasanya mampu melihat permasalahan dari sudut pandang berbeda, berpikiran luas, dan terbuka.

Bahasan yang mainstream ya. Sudah banyak yang mengulas tentang manfaat menulis sebagai terapi jiwa. Hanya sekilas saya membahasnya di sini, sebab saya punya tujuan lain. Maaf jika tujuan saya kurang bijak: kali ini saya menulis di Kompasiana untuk curhat. Boleh kan sekali-sekali curhat? Dari pada jadi penyakit, lebih baik dituangkan dalam tulisan. Toh saya juga kesepian dan tidak punya teman bicara. Hal-hal lain yang sebelumnya saya lakukan sebagai media katarsis belum memuaskan. Mungkin dengan menulis, saya menemukan kepuasan. Saya sudah tidak peduli lagi bahwa tulisan saya ini bisa menjadi jejak digital yang tak mungkin hilang, bahkan saya tak peduli bila ada yang marah dan tersinggung dengan tulisan saya. Kalau ada yang marah dan sakit hati, saya bisa lebih marah dan sakit hati lagi. Memangnya saya tidak bisa marah? Memangnya menulis dengan cantik itu mudah? Tidak, sama sekali tidak mudah.

Pertama, saya kecewa dengan informasi yang didapat dari seorang teman. Kata teman saya, laki-laki yang pernah membawa lari potongan hati saya dan tidak mengembalikannya sudah mengikrarkan kaul kekal. Prosesi pengikraran kaul kekal dilakukan tiga bulan lalu, dan saya baru tahu sekarang. Lebih lanjut, teman saya mengatakan bahwa prosesi ikrar kaul kekalnya dimuat di sebuah media. Bahkan saya dikirimi link beritanya.

Dunia kejam menggoda, dari 14 teman seangkatan hanya Frater Arif ucapkan kaul kekal http://penakatolik.com/2017/08/19/dunia-kejam-menggoda-dari-14-teman-seangkatan-hanya-frater-arif-ucapkan-kaul-kekal/ via @Pen@ Katolik

Berita itu membuat saya sedih dan kecewa. Terus terang saja, saya tidak mau berdusta pada perasaan saya sendiri. Selain itu, saya tersinggung dengan kata 'menggoda' di berita itu. Ada perasaan aneh dalam kata 'menggoda' itu. Kesannya negatif. Saya mencoba menganalisisnya sedikit demi sedikit dari sisi linguistik, psikolinguistik, semantik, dan pragmatik saat membaca berita itu. Meski saya belum ahli melakukannya. Hasilnya, saya menemukan bahwa berita ini berpihak pada calon rohaniwan yang masih bertahan dan mengikrarkan kaul kekal. Ada makna menyalahkan dalam kata 'menggoda' itu. Seakan semua calon yang telah keluar penyebab utamanya karena tergoda. Seakan ada hal-hal teertentu yang disalahkan dan layak disebut sebagai 'penggoda'. 

Dalam berita itu, beberapa kali saya menangkap penggunaan kata 'kawin' bukan menikah. Kata 'kawin' bersifat peyorasi, maknanya jauh lebih rendah dan kasar dibandingkan kata menikah. So, tertangkap makna bahwa para mantan biarawan yang lepas jubah dan menikah dianggap sebagai sesuatu yang rendah dan salah besar. Mantan biarawan yang gagal dianggap sebagai aib memalukan. 

Padahal tidak semua mantan biarawan lepas jubah karena ingin menikah. Ada pula yang kurang yakin dengan panggilannya, kurang puas dengan sistem formasi di dalam biara, konflik, tidak diizinkan keluarga, dan beragam alasan lainnya. Relasi dengan lawan jenis tidak jadi satu-satunya alasan untuk meninggalkan hidup religius.

Wajarkah bila saya tersinggung? Sebab seseorang yang dibicarakan dalam berita itu hingga kini masih mengisi hati saya. Apakah setelah ini saya akan dianggap wanita penggoda? Mungkin karena saya belum bisa menerima kenyataan. Mungkin pula karena sebagian hati saya masih menginginkan dia kembali. Padahal banyak orang berulang kali mengatakan pada saya, kalau saya bisa mendapatkan yang lebih baik dari dia. Yang lebih tampan, lebih charming, lebih baik, seiman, dan lebih kaya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline