Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

Pernah Jadi Korban Bullying? Jangan Putus Asa

Diperbarui: 22 April 2017   16:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat tengah berjalan sendirian di koridor, seorang teman sekelas berlari-lari menghampiri saya. Dia menangis. Saya keheranan dan bertanya mengapa dia menangis. Teman sekelas saya mengatakan kalau dia baru saja dibentak dan diberi kata-kata menyakitkan oleh mahasiswa di kelas yang sama. Kejadian itu bukan baru sekali-dua kali ia alami, melainkan sudah sering terjadi.

Dia terus menangis. Saya menenangkannya. Saya belai lembut lengannya. Saya mengajaknya ke taman. Dengan sabar, saya terus mendengarkan keluh kesahnya dan menghiburnya. Saya baru meninggalkannya setelah dia lebih tenang. Saat duduk berdua dengannya di taman dan sibuk menenangkannya, saya ikut sedih. Andai saja pemuda yang saya cintai yang duduk di samping saya dan mengeluhkan kepedihan, luka, serta rasa sakitnya pada saya. Tentu saya akan lega dan bersyukur, karena saya bisa membantunya meringankan bebannya di depan saya. Andai saja pemuda belahan jiwa yang juga Kompasianer itu  yang menangis di depan saya, maka saya akan berusaha lebih baik lagi untuk menghapus kesedihannya. Tapi ini teman saya, bukan dia. Saya mencoba realistis dan kembali fokus untuk menenangkannya.

Malamnya, saat saya membuka persediaan es krim di kulkas, perhatian saya teralih oleh kiriman e-mail darinya. Dia masih memikirkan kejadian tadi. Saya memintanya untuk sabar dan kuat. Membesarkan hatinya dan memotivasinya, itulah yang coba saya lakukan pada teman saya.

Entah mengapa, sejak sekolah sampai kuliah seperti sekarang, saya kerap kali didatangi para korban bullying. Mereka dekat dengan saya. Mereka menjadikan saya sebagai tempat berbagi perasaan, sahabat, dan tempat bersandar pasca bullying. Saya tidak tega melihat penderitaan yang mereka alami. Hati saya luluh saat mereka menangis dan bersedih di depan saya. Saya tidak bisa diam saja melihat mereka disakiti, diancam, dihina, diremehkan, dan dilecehkan.

Saya pribadi tidak pernah merasakan bullying secara langsung. Mungkin mereka takut saya tidak akan membantu mereka lagi dalam soal pelajaran dan hypnotherapy. Orang yang punya power dan kharisma  dalam suatu kelompok memiliki risiko yang rendah untuk di-bully.

Meski demikian, saya memahami perasaan para korban bullying. Saya dekat dengan mereka cukup emosional. Bahkan salah satu korban bullying pernah menjadi kekasih saya dua tahun lalu. Sosok belahan jiwa saya juga pernah menjadi korban bullying. Sampai kini, saya pun tak paham mengapa saya sering didekati korban-korban bullying. Apakah tubuh saya punya magnet untuk menarik mereka dekat dengan saya?

Kompasianer, apa itu bullying?

MenurutBarbara Coloroso (2003:44) – “Bullying adalah tindakan bermusuhan yang dilakukan secara sadar dan disengaja yang bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui ancaman agresi dan menimbulkan terror. Termasuk juga tindakan yang direncana akan maupun yang spontan bersifat nyata atau hampir tidak terlihat, di hadapan seseorang atau di belakang seseorang, mudah untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik persahabatan, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak”.

Bullying berbeda dengan konflik. Sebab terdapat unsur pengulangan dan ketidakseimbangan antara kelompok yang lebih kuat dengan korban bullying yang jauh lebih lemah. Ada beberapa jenis bullying: verbal bullying, social bullying, dan physical bullying. Verbal bullying berupa ejekan, ucapan yang menjatuhkan mental korban, mengejek nama, menyebut nama orang tua sebagai plesetan,  komentar negatif, sampai komentar tajam yang mengarah pada seksual. Social bullying adalah proses pengucilan seseorang dalam suatu kelompok sehingga membuat orang itu merasa malu, tidak berharga, minder, dan tidak diinginkan. Sedangkan physical bullying berorientasi pada penyiksaan fisik seperti memukul, menampar, melukai, merusak barang-barang, dll.

Ada banyak alasan mengapa seseorang di-bully. Misalnya, karena status ekonomi. Kasus yang sering terjadi adalah anak dari keluarga menengah ke bawah belajar di sekolah elite. Lalu ia di-bully teman-temannya karena kemiskinannya. Bisa juga anak orang kaya di sekolah/asrama biasa di-bully dengan cara dipaksa memberikan uang atau fasilitas mewah miliknya.

Masalah fisik membuat seseorang rentan di-bully. Orang yang terlalu kurus, terlalu gemuk, penampilannya tidak modis dan tidak menarik, wajah yang tidak terlalu rupawan dibanding teman-teman lain dalam kelompoknya, dll. Mereka cenderung mengalami verbal bullying. Wanita cantik dan pria tampan pun rawan di-bully. Jangan salah, Kompasianer-Kompasianer yang cantik dan tampan harus hati-hati. Banyak orang yang merasa iri dengan kecantikan/ketampanan orang lain, lalu mem-bullynya. Meski itu bukan salah kita karena kita dilahirkan tampan/cantik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline