Lihat ke Halaman Asli

Menembus Batas Ruang Bening (Episode: Mengais Gurat Masa Lalu)

Diperbarui: 5 Oktober 2016   11:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Seperti kejamakan masyarakat kita, yang hari-hari penuh sesak dengan momen spesial maka tidak salahnya memasukan karya ke-100 tulisan rubrik fiksiana kali ini, tergerak niatku memanfaatkan panggung kompasiana untuk berbagi cerita seputar awal muasal tertarik menggeluti bidang tulis menulis, disertai secuil harap semoga mampu membangkitkan motivasi bagi para penulis pemula dalam proses panjang meraih label sebagai penulis yang sebenarnya.

“Menulis Itu Mudah atau Menulis Itu Gampang,” demikian Aswendo Atmowiloto menuliskan sedikit trik-trik bagaimana kita harus memulai atau hendak memasuki dunia tulis menulis.  Buku yang tidak seberapa tebal terpajang di rak sebuah toko kawasan Simpang Lima Semarang saat menikmati keriuhan malam minggu, entah kenapa tanpa sengaja menarik perhatian dan menggeliti rasa keingintahuan benarkah, “menulis itu gampang. Sementara ketika ada tugas-tugas kuliah bersifat esai atau pertanyaan terbuka, untuk menuangkan kata-kata serasa sulitnya luar biasa.

Gayung bersambut, ke esok harinya manakala hendak menuju kampus mengikuti kuliah jam pertama, teman sekost jurusan sastra melontarkan tawaran berbau tantangan untuk kita bertiga dulu-duluan menulis dan masuk koran tulisan apa saja yang penting masuk koran, taruhannya tidak lazim, layaknya yang kalah dapat hukuman atau sanksi tetapi ini malah yang menang honornya dari menulis dipakai untuk menraktir yang kalah dengan embel-embel pengakuan yang menanglah yang selama ini berbakat dalam hal tulis menulis.

Simpel sih, waktu itu Ridwan yang kuliah di jurusan Hukum tingkat 3, Dendi yang menelorkan ide dan saya kuliah di FISIP jurusan Ilmu Pemerintahan kompak menjawab, “Ok” deal. Sejak terhitung saat itu, persaingan di mulai dan terus terang belum ada gambaran sedikitpun di pikiran harus bagaimana dan menulis apa. “Aha...perpustakaan! Gudangnya buku, ya di sanalah saya akan mencari dan menggali bahan inspirasi.

Singkat cerita, sebelum masuk kelas, di sela-sela menunggu jam kuliah berikutnya dan hendak balik kost demi mencari ide, saya rajin keluar masuk perpustakaan melahap isi buku-buku dan tak ketinggalan mencari tahu kira-kira rubrik di koran-koran apa yang potensial bisa ditembus.

Sebulan sudah berlalu, disuatu pagi dengan udara dingin yang menggigit kulit dan sayapun masih enggan bangkit dari tempat tidur tiba-tiba....

“Horee...horeeeee. Aku menang, teriakan Dendi sembari masuk kost dan mengedor-gedor pintu kamar Ridwan dan termasuk saya karena penasaran beranjak membuka pintu bertanya, “ada apa Den, salah makan obat ya pagi-pagi teriak-teriak”.

“Lihat ni, lihat tulisanku dimuat di koran,” sambil menunjuk-nunjuk judul tulisan disalah satu kolom bertajuk Rubrik Debat Mahasiswa dan sekilas di bawahnya tertulis nama penulis (Dendi, Mahasiswa Fakultas Sastra).

“Waouw”...spontan reaksiku dalam hati kala itu. Bukan merasa jelessebaliknya rasa ikut senang dan bangga punya teman satu kost, tulisan dan bahkan foto close upnya dimuat di koran. Bayangkan dengan oplah sekitar 100 ribu sampai 250 ribu eksemplar berarti tulisan Dendi minimal dibaca oleh ratusan ribu orang, “luar biasa”. Mirip balada.....mendadak tenar jadinya.Esoknya, Dendi banyak mendapatkan salam selamat dari teman-teman seangkatan...”Selamat ya Den; Hebat hiii bisa masuk koran; Traktirannya dong; Ajari aku Den, pengin juga bisa nampang di koran”, .... kurang lebih demikian reaksi spontan komunitas kampus menanggapi seputar keberhasilan Dendi dalam debutan awal sebagai penulis dan sebagai teman kost serta kampusnya berdekatan, suasana kabahagiaan yang dirasakan Dendi merasuk memenuhi juga kebatinan saya. Andai, tulisan saya bisa masuk koran, betapa senangnya. Maklum kala itu demam Medsos belum muncul, jadi media cetak relatif memiliki pengaruh kuat sebagai media massa yang memiliki konsumen cukup besar.

“Makan apa kita”, tawar Dendi sambil mengipas-kipas leher dengan lima lembaran uang nominal lima puluh ribu.

“Salut...salut, itu honor menulis kemarin ya,” tanya Ridwan singkat, ”makan nasi padang saja, sudah sebulan ini rasa kangen menikmati aroma khas rendang dan sambal hijau,”tambahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline