Lihat ke Halaman Asli

Lanang Irawan

Senang membaca dan berbagi tulisan.

Dibunuh Penjual Tanah

Diperbarui: 18 Juli 2020   10:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Akar gantung yang merumbai dari satu-satunya pohon di tanah ini adalah tempatku bermain bersama teman yang orang tuanya mati diburu serdadu. Kalau hari mujur, aku sering mendapatkan makanan baik di seberang sana setelah berayun-ayun--depan kawat besi yang panjaaang sekali, benda keras yang juga memisahkan kami dari dunia luar.

Kadang aku bosan, temanku juga bosan. Tapi orang tua kami tak bosan-bosan meminta kami agar tidak pernah merasa bosan hidup di tempat ini. Membosankan! Padahal kami hanya ingin keluar sebentar untuk mengenal dunia yang kata mereka sangat berbahaya.

Bagaimana mungkin aku merasa takut pada sesuatu yang belum diketahui? Lagi pula apa itu bahaya?

Akh! Orang tua memang penakut! Jika aku memaksa keluar, mereka malah menjejaliku dengan tragedi-tragedi yang dulu menimpanya. Menjengkelkan!

Apa hubungannya keinginan kami hari ini dan tragedi mereka di masa lalu? Tidak ada, kan? Karenanya, aku yakin mereka hanya membual. Bila kami pergi orang-orang tua itu akan kesepian. Licik sekali!

Atau mereka mengira kami akan takut? Lalu sedetik demi sedetik berubah menjadi pengecut seperti mereka? Tidak! Aku tidak takut, yang kutakutkan itu hidup di sini selamanya.

Apalagi semingu ini makanan yang aku dapatkan itu-itu saja, pisang kulutuk dan kadang jambu batu. Aku sampai susah berak seperti kemarin--mampet pencernaan. Ditambah menyaksikan teman dan ibu sedang main tepat di sampingku yang buang hajat. Makin mampet saja!

"Kes! Kes! Kes!"

Hoi! Itu dia bunyi si tua yang suka melatih kami bergoyang diiringi tabuhan gendang, makhluk yang pikunnya sudah sampai ubun-ubun. Bulu yang masih hitam di tubuhnya hanya pada bagian wajah, tepatnya di atas bibir tebal yang menyembunyikan gigi ompong. Kadang aku mengira bibir itu kulit pisang yang terlanjur matang, hitam dan kering.

Suasana berubah riuh, bangsaku yang tinggal sepuluh jiwa ramai-ramai menyongsong ke arah panggilan dengan berloncatan, bergelantungan, tak jarang silih sikut dan saling dorong.

"Anjing! Sabar, semua bakal kebagian! Cukup manusia saja yang tidak bisa mengantri!" Nah! Si tua mulai lagi pikunnya, memanggil bangsaku dengan nama bangsa lain. Kalau aku sudah besar, ingin sekali kucakar wajah keraras kering itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline