Lihat ke Halaman Asli

Lailatul Q

blogger

Toxic Senioritas di Kantor

Diperbarui: 3 Agustus 2021   13:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi foto: detikFinance - Detikcom

Saya minta maaf kepada Mas Rahman karena saya baru menuliskan ceritanya sekarang. Saya tulus, harusnya saya sudah menulisaknnya sejak setahun waktu dia baru saja resign dari perusahaan tempatnya bekerja.

Maafkan saya, pengalamannya begitu penting tetapi saya begitu abai.  Kok saya pilih menulis tema lain, seperti senioritas di kantor baik-baik saja. Padahal banyak warga negara Indonesia yang bekerja di perusahaan. Kebetulan Mas Rahman bekerja di salah satu perusahaan konstruksi BUMN di Jawa Timur.

Mas Rahman memilih resign dari kantor. Dia memang bukan karyawan tetap di perusahaan itu, baru satu tahun menjadi karyawan kontrak, November 2020 ia akhirnya memutuskan keluar. Sebelumnya ia terancam dikeluarkan atau dipindah tugaskan karena katanya keuangan perusahaan sedang menipis, sementara proyek yang dibangun sudah molor 2 tahun.

Akibatnya para pekerja lapangan dan bawahan diPHK. Beberapa yang berani melawan senior kantor juga diPHK, padahal kendala pembangunan tak kunjung selesai karena para senior sibuk bermain. Perusahaan konsultannya juga bermain. Direktur dengan gaji segunung, datang jam 09.00 pulang jam 10.00. istrinya baru saja telpon, mereka ngobrol soal liburan ke Singapura.

 Mas Rahman dan beberapa teman dekatnya berani bersuara dan melawan. Mereka berbicara atas dasar fakta dan data di lapangan tentang pembangunan yang tak kunjung selesai, tetapi para senior jabatan tetap ngotot kalau itu kesalahan pekerja. Akhirnya mereka sempat terancam dipindah tugaskan ke kantor pusat di Gresik.

Mas Rahman adalah lulusan pesantren. Ia nyantri selama 6 tahun kemudian kuliah di ITS. Sikap kesantriannya terbawa hingga ke kantor dan berusaha menghormati sesepuh di kantornya, hingga beberapa bulan berjalan ia sadar satu hal: "Rupanya sekalipun santri gak bisa begitu, Mbak. Kalau Masuk kandang singa jangan jadi domba. Biar tidak diterkam." Katanya pada saya.

Keadaan perusahaan kian tak terkendali, banyak karyawan bawahan dan pekerja lapangan diPHK, sementara atasan mereka berada di posisi aman. Gaji pun aman. Rumus populernya, potong rumpu-rumput kecil agar tanaman yang tinggi dan besar tetap kokoh berdiri. Alasannya pangkas keuangan, padahal gajinya sendiri dengan tunjangan tak ada yang berkurang, sementara karyawan bawahan yang bekerja dengan sungguh-sungguh kehilangan pekerjaan.

Tidak tahan dengan keadaan itu, Mas Rahman dan teman-temannya memilih meninggalkan kantor. Katanya, Tindakan itu adalah bentuk perlawanan terakhirnya.

Sebenarnya Mas Rahman bisa saja tetap bekerja dan tidak menjadi pengangguran, asal dia pasang mental 'Yes Man' di hadapan seniornya. Apa pun yang dikatakannya, seperti apa pun datanya, apa pun yang dimintanya tinggal ucapkan mantra "Iya, Pak. Siap, Pak." maka ia akan selamat dari ancaman bahaya.

Dan mantra itu berlaku untuk atasan, atasannya atasan, atasan atasannya atasan. Pilihannya ada dua; bertahan dan ikuti permainan catur senior, atau keluar dan merdeka.  

Kabarnya, saat ini perusahaan tempat Mas Rahman bekerja sedang bertarung dengan hukum di pengadilan. Perusahaan itu kena pinalti hukum karena mayoritas proyeknya tidak selesai dikerjakan. Belum lagi negara harus menanggung beban kerugian perusahaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline