Mobil Ford telah resmi cabut dari Indonesia menyusul Chevrolet. Kedua mobil buatan Amerika ini kalah telak bersaing dengan Jepang. Perusahaan mobil asal Amerika, China, Malaysia, dan bahkan beberapa dari negera Eropa menemukan neraka dengan berhadapan dengan Jepang ketika terjun di Indonesia. Chevrolet dan Ford dipaksa angkat kaki, Cherry, Geely (China) bagai kunang-kunang alias berkedip-kedip. Sementara mobil Proton (Malaysia) semakin megap-megap.
Pasar otomotif Indonesia memang sangat menggairahkan. Dengan jumlah kelas menengah yang semakin banyak, maka ke depan penjualan mobil akan menyentuh angka satu setengah juta unit pertahun. Pasar lezat itulah yang membuat perusahaan mobil dari luar negeri berlomba-lomba untuk ikut mengais rezeki di tanah air. Tetapi mobil-mobil buatan non-Jepang itu, satu demi satu berguguran. Mengapa mereka berguguran?
Dari sejarahnya, mobil Ford dan Chevrolet tidak ikut menanam dan menabur di Indonesia sebelumnya. Jepang, sejak 40 tahun yang lalu dengan bercucuran air mata, ikut menderita mengikuti perkembangan perekonomian Indonesia. Jepang, bahkan ikut membangun infrastruktur, membangun pabrik, sabar mengikuti maunya konsumen Indonesia dan rela menderita dengan keuntungan yang sedikit pada awalnya. Dan itu telah ditunjukkan oleh Toyota dengan membuat mobil keluarga lagendarisnya Toyota Kijang.
Di Indonesia, Jepang terus-menerus menanamkan brandnya ke otak masyarakat. Jepang tak kenal lelah memperbaiki mutu, layanan purna jual dengan memperbanyak dealer dan service. Jepang juga tetap mempertahankan harga agar tetap terjangkau sesuai dengan pundi-pundi masyarakat Indonesia. Hasilnya, Jepang menjelma menjadi raja otomotif Indonesia yang sulit dilengserkan. Perusahan-perusahaan mobil brand Jepang seperti Toyota, Honda, Suzuki, Nissan, Mazda, Mitshubishi, Daihatsu, Isuzu, pun tetap eksis dan mampu bersaing sehat.
Begitu melekatnya brand mobil Jepang, sampai-sampai tak ada sudut jalan yang tidak ada mobil Jepang. Di setiap jalan, kita akan melihat keajaiban sentuhan tangan-tangan terlatih para insnyiur Jepang dalam mendesain setiap mobil. Desain-desain mobil Jepang sangat brilian, setara dengan Eropa bahkan di beberapa segmen lebih unggul. Maka ketika mobil-mobil non Jepang masuk, hati konsumen Indonesia tak mudah berpaling. Mereka tetap mencintai mobil Jepang. Soal teknologi mesin, tentu saja tidak kalah dengan Amerika dan Eropa.
Benar bahwa mesin mobil Ford, salah satu mesin mobil terbaik di dunia. Namun harga, dealer, pelayanan purna jual dan harga resellernya jelas kalah dengan Jepang. Bagi konsumen Indonesia, mobil Ford dan Chevrolet, ibarat pasar swalayan kelas Superindo, Hero, Hari-hari Swalayan dan seterusnya. Jika belanja di pasar swalayan itu, publik merasa serba tanggung alias tidak lengkap.
Mengapa Superindo dan sejenisnya kurang berkembang di Indonesia? Itu tadi barang-barang di dalamnya kurang lengkap, alias tanggung. Gengsi pemilik Ford dan Chevrolet tidak begitu jelas statusnya dan kurang menunjukkan kelas siapa pemiliknya. Satu-satunya prestise pemilik mobil Ford atau Chevrolet adalah pandangan bahwa mobil itu non Jepang atau buatan Amerika. Harganya juga tak banyak yang tahu. Hampir tidak ada pandangan bahwa mobil Ford dan Chevrolet harganya setara dengan mobil Jerman.
Ford dan Chevrolet sangat berbeda dengan Mercedez Benz dan BMW Plus VW. Mobil-mobil buatan Jerman ini ibarat pasar swalayan raksasa semacam Carrefour dan Lotte Mart. Di sana semua serba lengkap. Jika sengaja berbelanja, maka apapun yang anda inginkan hampir semuanya tersedia di pasar swalayan ini.
Mobil Mercedez Benz atau Mercy dan BMW adalah mobil sempurna, semuanya ada di mobil ini. Kepemilikian mobil ini bagi siapapun seolah-olah melambangkan kesuksesan materi, lambang kemampanan, kejayaan dan kemakmuran. Mercy dan BMW telah menjelma di hati konsumen Indonesia sebagai mobil dengan daya magis seni yang tinggi. Ia bagaikan gadis sempurna bagi siapapun pemiliknya. Memiliki mobil Mercy dan BMW menunjukkan status tinggi anda. Maka tak heran mobil-mobil buatan Jerman tetap menjadi idola bagi masyarakat Indonesia karena ia merupakan sebuah prestise.
Lalu bagaimana mobil China dan Malaysia? Kedua mobil ini saya ibaratkan belanja di pasar tradisional, kurang comfortable alias kurang nyaman kendatipun harganya murah meriah. Belum lagi desain mobil China kurang memenuhi selera konsumen. Walaupun tidak selalu benar, konsumen Indonesia cenderung meragukan teknologi mobil China terutama terkait keselamatannya. Sementara mobil Malaysia, konsumen dipengaruhi oleh pandangan negatif sebagai tetangga serumpun yang cari gara-gara.
Selanjutnya mobil Jepang, saya ibaratkan minimarketnya Alfamart dan Indomaret. Toko mini yang praktis, elegan dan supel. Baik Alfamart maupun Indomaret, harganya cukup bersaing, dekat dengan rumah karena keberadaannya menjamur dimana-mana. Kenyamanan berbelanja, diskon-diskon dan label tanggal pembuatan dan penggunaan selalu tercantum di produk yang meyakinkan konsumen. Maka tak heran jika mobil Jepang tetap laris manis dan tetap menusuk hati para konsumen Indonesia. Hal yang sama ditiru oleh Korea Selatan dengan mobil Hundai dan KIA-nya. Korea Selatan terlihat sangat gencar meniru habis Jepang dalam menarik perhatian konsumen Indonesia. Dan mereka juga mulai berhasil.