Lihat ke Halaman Asli

Kristianto Naku

TERVERIFIKASI

Analis

Ketika Saya menjadi Konselor dan Klien

Diperbarui: 14 November 2021   22:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi konselor dan klien. Foto: https://www.kajianpustaka.com.

Bagi kebanyakan orang, menceriterakan pengalaman keluarga atau tepatnya membongkar kehidupan privat keluarga adalah tabu. Apalagi jika keluarga mengalami semacam bentrok, kegaduhan atau situasi "buruk".

1st Encounter

Pengalaman saya sebagai klien, saya merasa santai ketika diminta untuk menceriterakan pengalaman masa kecil sekaligus kisah keluarga saya. Yang hendak ditunjukkan sebetulnya bukan mengenai bagaimana keluarga saya itu bisa berjuang, keluarga saya adalah keluarga hebat atau sekadar mem-postingkan potret keluarga, melainkan bagaimana saya belajar menghargai dan membangun trust.

Orang yang datang kepada saya dengan maksud baik, apa salahnya jika saya bersikap positif. Kehadiran pihak lain, bagi saya adalah sebuah bentuk perhatian sekaligus bagaimana membangun budaya menghargai -- saya berbicara, Anda mendengar atau sebaliknya. Hal lainnya adalah mengenai kepercayaan.

Saya berani mengeluarkan topeng untuk menarasikan living situation sekaligus problem saya di sini dan saat ini, justru karena saya ingin berbagi sesuatu yang sejatinya jalan keluarnya tidak hanya membutuhkan satu orang untuk merobohkannya. Saya merasa sulit untuk merobohkan batu kebingungan dalam hidup saya, lalu kenapa saya tidak meminta saudara-saudara saya untuk ikut membantu saya, biar bisa lega, fokus, dll?

Hemat saya, inilah dua hal penting yang saya endapkan dan menjadi bahan refleksi futuris. Tidak terlepas juga soal etika berkomunikasi. Bagaimana berkomunikasi dengan orang lain dengan kaidah-kaidah yang semestinya -- sopan santun salah satunya.

2nd Encounter

Sedangkan sebagai seorang klien, saya disadarkan untuk lebih menghargai setiap pilihan atau keputusan yang saya ambil. Saya belajar banyak dari konselor saya. Rupanya meknisme penggunaan teori yang dipakai adalah sangat positif. Konselor tidak memakai gaya interogasi ala hakim dalam memhami serta mengenal lebih dalam problem yang dihadapi klien.

Sebagai klien juga, saya dituntut untuk lebih mawas diri -- melihat ke dalam diri terutama merefleksikan kembali pengalaman-pengalaman temporer atau purba yang tak sempat tersentuh ingatan. Menghargai setiap keputusan adalah hal yang paling ditekankan dalam proses encounter kami. Lagi-lagi, aspek mendegarkan menjadi sesuatu yang attractive dalam kegiatan konseling ini.

Saya melihat ke dalam diri saya, kadang saya selalu monopoli dalam kegiatan sharing dalam komunitas. Penonjolan aspek tertentu dengan sabotase ruang opini dalam komunitas adalah hal yang sering saya lakukan, namun tak disadari. Oleh karena itu, saya sangat berterima kasih kepada konselor saya yang telah melatih dan mengajarkan saya bagaimana berkomunikasi yang baik -- etika komunikasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline