Lihat ke Halaman Asli

Kristianto Naku

TERVERIFIKASI

Analis

Membaca Dekonstruksi Derrida

Diperbarui: 4 Juni 2021   17:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi dekonstruksi karya seni modern. Foto: fineartamerica.com.

Salah satu tema sentral dalam tulisan-tulisan Derrida dan pastinya melalui tema ini, term dekonstruksi dapat dipahami adalah mengenai dekonstruksi metafisika kehadiran (the deconstruction of the metaphysics of presence). Dalam tulisannya "Letter to a Japanese Friend" (1991), Derrida memperlihatkan bahwa term dekonstruksi datang dari pemikiran Heidegger dalam tulisannya Sein und Zeit (1927) mengenai destruksi (Destruktion) tradisi metafisika Barat.

Menurut Heidegger, tradisi metafisika Barat mensyaratkan bahwa Being dan beings adalah hadir di masa kini (presence in the present). Gagasan Heidegger tentang Sein (Jerman) diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Being dan gagasan tentang Seiendes diterjemahkan baik sebagai being yang hadir maupun sebagai entitas (entity).

Pertanyaan mendasar dalam tulisan Heidegger adalah mengenai arti Being. Akan tetapi, apa yang dimengerti dari Being itu sendiri justru menjadi pertanyaan yang sangat kompleks. Menurut Hubert L Dreyfus dalam bukunya "Being in the World" (1991), Heidegger menekankan bahwa: 1) Being merupakan sebuah konsep yang sangat universal dan 2) Being tidak dapat didefinisikan.

Akan tetapi dalam beberapa pemikiran, kehadiran Being justru dilupakan. Dalam tulisannya, De la Grammatologie, Derrida -- sama halnya dengan Heidegger -- mengklaim bahwa metafisika kehadiran memuat pengertian makna ada, waktu dan subjek sebagai bentuk kehadiran. Dengan kata lain Ada (Being) dan makna dari Ada (Being) dilihat sebagai hal esensial yang hadir di masa kini.

Dekonstruksi tentunya mempertanyakan filsafat. Sejarah filsafat mengklaim dirinya merasa mapan dengan segala yang dimilikinya. Ada keyakinan umum dalam filsafat bahwa kata-kata memadai untuk menghadirkan dan menjelaskan segala hal. Kata-kata dianggap memiliki kekuatan rasional untuk membenarkan dunia.

Anggapan ini oleh Derrida dinamakan logosentrisme. Logosentrisme merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan bentuk rasionalisme yang mensyaratkan suatu kehadiran di belakang bahasa dan teks. Gagasan, tujuan, makna, kebenaran dari bahasa bertindak sebagai wahana yang tersedia dan dianggap nyata dari sebuah ekspresi kehadiran.

Dari sini, kemudian dikenal istilah metafisika kehadiran, yakni pemikiran yang mensyaratkan kehadiran. Kehadiran di sini ditandai dengan bahasa, hadirnya subjek penutur dan pendengar. Hadir berarti terlibat dan berada dalam situasi kekinian. Tekanannya pada keadaan kini dan di sini. Hal ini berarti bahwa kekiniaan menunjuk ruang dan waktu. Hasil dari pemikiran seperti ini adalah pengistimewaan sesuatu yang dianggap sebagai pusat atau asal.

Salah satu ciri postmodernisme adalah penolakan akan adanya makna tunggal. Makna tunggal menurut Derrida justru mengekang pluralitas makna. Derrida menunjukkan hal ini dengan mengatakan bahwa sebuah teks selalu terbuka terhadap yang lain. Pernyataan Derrida yang paling menohok adalah "There is nothing outside the text."

Intertekstulitas ini menunjukkan bahwa upaya beroperasinya makna dominan dihentikan. Sebuah teks selalu berkaitan dengan teks-teks yang lain. Oleh karena itu, dekonstruksi Derrida terjadi di dalam teks. Menurut Critchley, dekonstruksi adalah sebuah pembacaan ganda atas sebuah teks. Model pembacaan ganda pada dasarnya membuka kemungkinan akan berbagai interpretasi. Teks asli yang dikatakan penulis menjadi sesuatu yang sama sekali baru di tangan pembaca.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline