Lihat ke Halaman Asli

Kristianto Naku

TERVERIFIKASI

Analis

Iklan, Kuasa, dan Politik

Diperbarui: 23 November 2020   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

twitter.com/pramonoanung

Dalam tayangan televisi yang tidak berbayar, kita disuguhi iklan yang luar biasa banyak. Dari iklan itulah kita membayar. Jika kita membeli sebuah benda, kita sesungguhnya tidak hanya membayar sesuai nilai benda tersebut, ada biaya iklan di sana. Di situlah letak cengkeraman kapitalis.

Selain televisi, kapitalisme juga telah masuk tanpa kita sadari bersama arus globalisasi yang mendera kita tanpa bisa kita hindari. Betul, globalisasi telah mewabah dan mengubah cara pandang orang atas dunia. Segala rupa bidang kehidupan senantiasa dikaitkan dengan frame internasional-multi-bangsa.

Term multi-bangsa pada hakikatnya sekadar upaya penyederhanaan sistem sosio-kultural masyarakat dunia. Lantas setelah menjadi satu masyarakat dapat dengan mudah dikendalikan. Siapa yang mengendalikan? Merekalah para pemilik modal dan CEO korporasi raksasa. Para pemilik modal dan CEO korporasi raksasa adalah pihak yang bertanggung jawab atas berjubelnya iklan, baik di media elektronik, cetak maupun iklan baliho di pinggiran jalan.

Iklan-iklan tersebut telah mendoktrin kita secara paksa untuk menjadi konsumtif. Nah, dalam hal ini, kaum kapitalis kakap pula yang berhasil menjejali kita tontonan sampah. Mereka merupakan segelintir orang dengan kuasa berlebih, mengendalikan opini, mengubah paradigma berpikir, bahkan melumpuhkan intelektualitas.

Sialnya banyak dari kita terjebak dalam arus tren adiktif yang mereka buat sebagai alat menjajah. Tapi sadarkah bahwa mereka tidak mungkin bermain sendiri. Mereka perlu relasi yang punya otoritas hukum dan politik seperti para elite pemerintahan -- terutama orang yang otoritasnya berpengaruh luas di seantero dunia.

Kaum kapitalis, sejatinya, mustahil menjalankan semua intriknya sendiri, melainkan terpusat di bawah lindungan sang negeri adikuasa Amerika Serikat (AS). Sudah bukan rahasia lagi kalau politik Amerika Serikat selalu pro kepentingan korporasi multinasional dari negeri mereka. Berbagai formula yang disusun oleh elit pemerintahan AS juga tidak luput dari tangan-tangan kepentingan para pemilik modal.

Dalam catatan sejarah pasca Perang Dunia II, banyak negara---terutama sebagian Eropa yang telah maju---mengalami kemunduran akibat dampak perang. Tapi hanya AS, negara yang teritorinya tidak terkena serangan. Selain itu, geliat ekonomi dalam negeri mereka juga stabil, di samping merebaknya industrialisasi berbasis IPTEK.

Alhasil, AS menjadi satu-satunya negara yang beroleh kemajuan pesat pasca Perang Dunia II. Dari situ, AS mulai menjadi pemain utama di panggung politik dunia. Dengan posisi yang sangat menguntungkan tersebut, menjadikan AS sebagai tempat yang sesuai untuk pertumbuhan perusahaan dan korporasi.

Di sinilah, kekuasaan modal mulai mengakar dan menjadikan AS sebagai pusat perputaran modal dunia. AS, kini tak lebih sebagai negeri zombi yang dikendalikan CEO di balik layar pemerintahannya.

Dengan pengaruh modal yang teramat besar di AS, menjadikan negara ini angkuh. AS justru tumbuh menjadi negeri yang teramat proteksionistis dan preventivis. Setiap muncul pemain politik baru di kancah global, tak segan AS melakukan pembasmian. Tak lain contohnya Komunisme Soviet.

Bahkan sudah bukan rahasia, kalau pembantaian massal yang terjadi di Indonesia tahun 1965 oleh Jenderal Suharto juga di bawah pengaruh kaum kapitalis AS (Chomsky, 2014). Kudeta oleh Suharto yang kemudian disambung dengan pembantaian massal tersebut justru mendapat sambutan positif dari media Barat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline