Lihat ke Halaman Asli

Krismas Situmorang

Guru, Blogger Indonesia

Daun Itu Telah Menguning

Diperbarui: 25 Desember 2020   06:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pagi itu, perahu telah membawaku merayap ke suatu tempat. Aku biasa berkunjung untuk mengais keberuntunganku. Di sana aku biasa mendapat bulir-bulir kehidupan untuk nafas-nafas yang menantiku pulang.

Aku tak pernah jenuh menjalaninya, meski keringat terus menetes dan tulangku gemeretak ngilu. Sebuah kesenangan rutin ketika menatap cahaya yang mengintip di timur, lalu berkejaran di antara perahu-perahu berkaki dua yang memburu di sampingku dan di depanku.

Hari ini, dia berada tak jauh dariku Ya, dia yang telah banyak memakan asam dan garam itu selalu ada dalam diam. Tak banyak suara yang terdengar dari mulutnya. Perjalanannya sudah panjang dan jauh.

Kini dia hanya bergerak dan membisu. Mungkin dia merasa jenuh atas perjalanannya yang jauh itu. Dia merasa kesepian di tengah hari-harinya yang selalu sama. Aku tersadar ketika melihatnya  diam termangu. Pikiranku mulai liar menari-nari tak menentu.

 Aku mulai bertanya pada diriku, apakah aku akan melalui waktu seperti perjalanannya itu? Sesaat aku langsung menutup wajahku ketika membayangkannya.

Menalar diri

Pada titik ini, aku menalar diriku dan mencoba membanding-bandingkan. Aku mungkin tak sekuat dirinya yang tegak berdiri menatap masa depannya. Entahlah, masa depannya mungkin hanya sebentar lagi. Sang Pemilik Kebun mungkin akan segera memanen dirinya.

Aku tak tahu persis, sudah berapa banyak buah yang dia hasilkan. Entah sudah berapa mulut yang sudah merasakan buahnya. Aku hanya mengetahui bahwa dia telah berbuah banyak. Aku tersadar, mungkin inilah garis waktunya.

Kemudian, dia berkata-kata dan terus bicara. Semakin lama, suaranya semakin melemah, serak dan akhirnya menghilang dalam kesunyian. Tak ada yang membendung ketika sebuah tetesan meluncur kencang dari pelupuk matanya menuju bumi.

Kesepian Hati

"Aku kesepian," katanya. "Aku tidak memiliki teman untuk berbicara. Bibirku hampir melekat karena diam. Suaraku mengendap mendekati bumi." Ya, dia berada tak jauh dariku. Aku menghampirinya sambil tersenyum dan melempar lelucon. Aku bahkan tak merasa lucu ketika mendengarnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline