Lihat ke Halaman Asli

Eko Kristie

Payung itu melindungi diri. Payung itu norma, tradisi, agama, dan segala sesuatu yang menjadikan hidup semakin nyaman.

Cerita Romantis 17

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MODAR!

Senapannya meletup dengan irama sentak yang giris.

”Modar kowe!”

Teriaknya saat sasaran meronta di dalam air. Wajahnya tersenyum, lalu muncul suara terbahak dalam kepuasan. Tangannya segera meraih tali nilon yang mengait pada ujung pelur besi. Peluru yang panjangnya sekitar sepuluh sentimeter dan berbentuk gilig kayak rokok itu menembus telak badan ikan yang lebarnya setelapak tangan. Setelah ikan itu terangkat, terus dilempar dilempar begitu saja di darat. Orang itu mulai memompa senapannya lagi, satu, dua, tiga ... sampai kali dua puluhan. Jari-jarinya menyusupkan peluru ke laras, memasukkan laras ke lubangnya, didorong ke bagian lubang peletup. Dia duduk di atas dahan pohonyang menjorok ke sungai. Beringsur-ingsut sebentar, lalu matanya berkilat-kilat menjelajahi bawah permukaan air sungai.

”Modar kowe!”

Tangannya kembali sibuk menarik-narik tali nilon. Air sungai berdebur keras, si korban mencoba melepaskan diri meskipun badannya telah berlubang. Meronta dalam ketakberdayaan. Wajah pemburu ikan makin cerita menonton pemberontakan sia-sia itu.

”Dapat berapa, Dul? Teriak-teriak melulu!”

“Baru sembilan!”

”Wah, aku baru dapat tujuh!”

”Disingsoti biar kutug-kutugnya ngambang!”

”Ya!”

Perburuan pun berlanjut. Aliran sungai yang tenang menjadi pemandangan yang menggemaskan bagi para penembak ikan. Suara letup angin yang menyeruak dari lubang senapan muncul bersahutan. Pertanda beberapa ikan menggelepar dengan lubang sebesar kelilingking orang dewasa menembus sisi atas badannya.

Sore harinya, sesampai di rumah, ikan-ikan dibersihkan isi perutnya. Dipotong kecil-kecil. Dibumbui dan diraupnya ke penggorengan, aroamnya menyebar hingga ke dasar perut. Anak-anaknya mengunyahnya berikut tulang-tulangnya.

”Anak-anak, ayah teringat ketika ikan-ikan ini meronta-ronta di dalam air sungai.”

Anak-anaknya berpandangan, lalu melanjutkan makan. Perkataan ayahnya menambah rasa lahap mereka.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline