Lihat ke Halaman Asli

Kisah Penjaga Sekolah: Hidup Cari Nyaman, Buat Apa Ingin Keluar Zona Nyaman!

Diperbarui: 19 Juni 2022   10:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satpam SMAN 4 Tangerang Selatan, Slamet Gunaedi (47) (KOMPAS.com/DAVID OLIVER PURBA)

Sesuatu yang membuat saya menjadi sinting kala itu sekaligus naif adalah cerita dari tetangga saya sebut saja bernama Boris Alfonso (45) tentu itu bukan nama yang sebenarnya.

Katanya ia ingin sesuatu yang lebih, sesuatu yang menjanjikan, dan sesuatu yang fleksible akan waktu hidupnya, antara bisnis, kaya, dan tak mau bekerja lagi di tempatnya yang sekarang karena ada ide yang lebih baik; berbisnis di rumah sambil mengerjakan hal lain.

Padahal jika direnungi lebih dalam oleh orang-orang yang tak menjalankannya, tempat kerjanya yang sekarang menurut orang lain seperti saya; itu merupakan posisi ideal, pekerjaan ideal dengan waktu yang tak mengekang, dan juga tenaga yang terforsir tentu berimbang dengan gaji yang didapat Boris Alfonso itu.  

Selayaknya kesempatan kerja di desa yang sedikit, kita harus mampu bersaing dengan kemampuan dan keberuntungan dengan orang lain. 

Seorang penjaga sekolah seperti Boris Alfonso dengan bayaran lebih dari satu juta per bulan dengan tunjangan kerja yang jika di total 3 bulanan sudah mencapai "take homepay" sama dengan gaji saya sebagai karyawan swasta, yang sejumlah besaran UMK Kabupaten Cilacap sekitar 6 juta-an per tiga bulan.

Tentu secara pemikiran rasionalitas saya akan sangat disayangkan jika Boris Alfonso keluar begitu saja dari pekerjaannya sebagai penjaga sekolah yang waktu kerjanya pendek, yaitu membuka gerbang, menutup gerbang, bersih-bersih dan tempat sekolahnya sendiri tidak jauh dari rumahnya cukup jalan kaki. 

Anak-anak sekolah libur, dirinya ikut santai, ada pandemi kemarin 2 tahun, selama itu pula dirinya bisa terkurangi beban kerjanya.

Dengan kemudian Boris Alfonso berilusi berbisnis dengan meninggalkan pekerjaan penjaga sekolah itu tanpa kejelasan dari kepastian akan bisnis yang akan dijalankan, yang dalam bayangannya sebuah toko kelontong karena rumahnya di pinggir jalan desa memungkinkan akan mampu menjaring pelanggan banyak.

Akan tetapi jika dipikir secara mendalam, di desa dengan segmentasi bisnis yang kurang menjanjikan, dan bicara desa saya perekonomiannya sangat terbatas perputarannya. 

Bukan warganya tidak ada penghasilan, tentu ada, dan saya yakin desa saya dengan pertanian yang maju dapat dikatakan mencukupi secara ekonomi untuk kebutuhan hidup warganya sehari-hari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline