Lihat ke Halaman Asli

kingkin kts

antropogenik

Klitih dan Teror Ketakutan bagi Saya

Diperbarui: 13 Februari 2020   15:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya

Jalan Jogja Wonosari nampak berbeda malam itu. Aku pulang berboncengan dengan Joe, teman yang kebetulan satu atap rumah kos-kosan selama menimba ilmu di Jogja. Entah ada gangguan mental apa temanku yang paling mager ini pengen meninggalkan Jogja untuk waktu yang lama. Mungkin karena saking fokusnya rebahan di kos atau telalu telaten bermain PUBG di HP nya dia menjadi bosan.

Tapi aku merasa bersyukur, dengan adanya teman buat naik/ munggah (istilah untuk warga yang berangkat dari Jogja ke Gunungkidul). Aku tak perlu khawatir dengan ancaman Klitih yang menggemparkan masyarakat Jogja.

Oh ya, bagi yang belum tau Klitih, klitih adalah pelaku kejahatan yang biasanya dilakukan anak remaja sekolahan berumur 14-19 tahun. Sebenarnya arti Klitih pada awalnya bermakna positif, cari angin, tetapi perlahan mengalami peyorasi menjadi tindakan pembegalan dengan penyerangan dijalan oleh remaja.

Ya sebenarnya aku tidak terlalu takut dengan ancaman Klitih, setiap naik atau turun kota tak lupa aku selalu menyiapkan cutter tajam di jaket. Sebenarnya pisau itu sering dipakai emak untuk mengupas buah dirumah. Tapi terpaksa aku curi ya, itung-itung sebagai tindakan preventif menyerang balik tindak kejahatan di jalan, he he.

Sepanjang jalan yang sepi semisal di daerah Bunder atau Pathuk, tak lupa kecepatan motor aku naikan menjadi 80 KM/Jam. Tak hanya kecepatan yang aku naikan, nyali dan kecepatan membaca situasi kanan, kiri, depan, dan belakang kendaraan juga aku tingkatkan. Maklum, hutan-hutan yang aku lewati sangat menakutkan dan berpotensi terdapat tindak kejahatan.

Fenomena Klitih memang selalu meneror harapan-harapan pemuda dan pemudi yang singgah di kota Jogja. Semisal pacaran, harusnya pasangan yang sedang bahagia itu bisa ngobrol lama-lama.

Tapi karena terbentur ancaman pembegalan, terpaksa harus menutup sesi percakapan cinta lebih dini untuk segera pulang. Barangkali karena topik pembicaraan yang dibatasi waktu menjadikan rencana naik kejenjang pernikahan ambyar karena tak cukup waktu untuk ngomongin hal itu.

Contoh kedua dampak Klitih bagi mahasiswa, terutama yang dirundung sibuknya kelas dan aktivitas siang hari di kampus. Momen diskusi sosial yang harusnya lebih khidmad bagi sebagian mahasiswa pada malam hari terancam tidak mencapai kesimpulan. Hla gimana selesai, wong banyak temanku aja jika udah memasuki rolasan atau jam 12 malam sudah merinding pengen balik.

Aku tidak tau sih disrupsi yang mendera pemikiran remaja-remaja Klitih itu. Padahal mereka sedang menempuh pendidikan tingkat menengah dimana seharusnya budi pekerti dipraktekan. Ya emang sih usia belasan memang usia genting untuk mencari jati diri dan menambah pengalaman serta pergaulan.

Tapi apakah mau mempertaruhkan darah demi memacu adrenalin kawula muda? Profesi Klitih risikonya gede hlo, selain harus berani melukai atau bahkan membunuh korban, syarat menjadi Klitih juga harus mempunyai mental yang tangguh. Ketika Klitih ketangkap basah, warga setempat dan sekitar otomatis bisa menghajar pelaku habis-habisan.

Kota Jogja yang dari dulu mendapat benchmark dari masyarakat perantauan sebagai kota nyaman dan menyenangkan akhir-akhir ini sedikit berubah. Kekerasan remaja dimana-mana, intoleransi beragama marak terjadi, dan beberapa masalah sosial lainnya. Pemerintah seharusnya lebih rajin memberantas masalah ini, jika tak mau slogan Jogja Berhati Nyaman berumah menjadi Jogja Berhenti Nyaman.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline