Ada banyak cara untuk bereskpresi, entah itu dengan menulis, menggambar, atau sekedar memotret sekitar. Dengan melakukan hal yang kita gemari membuat kita lebih lepas mengeluarkan apa yang ada didalam diri kita.
Kesedihan bisa kita ungkapkan tanpa menunjukam airmata kita, kemarahan bisa kita tampakkan tanpa harus mencak mencak dan bahagia bisa kita ungkapkan tanpa harus menaruh senyum yang lebar.
Ya, ada banyak cara. Seperti pelukis dengan lukisannya, seperti photographer dengan lensanya atau musisi dengan alunan nadanya.
Di dalam seni memang berekspresi bukan suatu hal yang dapat diatur dan dibatasi karna itu semua semata mata keluar dari dalam diri seorang manusia yang bebas tanpa tekanan dari manapun sehingga dapat mengekspresikan diri lewat suatu karya yang dapat dinikmati oleh orang banyak, serta tentu mewakili perasaan sang "penciptanya".
Pelaku seni di indonesia khususnya yang bergerak di industri musik di buat geger terkait RUU Permusikan yang didalamnya banyak pasal yang cenderung akan membelenggu kebebasan mereka dalam bereskpresi khususnya dalam bermusik.
Tentu banyak musisi dari segala penjuru indonesia yang bersuara, mereka dengan jelas menyatakan menolak akan adanya RUU Permusikan yang dimana RUU Permusikan ini pada tahun 2017 lalu masuk kedalam program legislasi nasional (PROLEGNAS) jangka panjang.
Tetapi pada naskah akademik RUU Permusikan sendiri malah membuka perdebatan dikalangan masyarakat dan musisi, karna ada sekitar 19 pasal yang berpotensi menjadi pasal karet.
Contohnya didalam pasal 5 RUU Permusikan, dimana ada beberapa poin yang isinya beberapa larangan bagi para musisi mulai dari membawa budaya barat yang negatif, merendahkan harkat martabat, menistakan agama, membuat konten pornografi hingga membuat musik provokatif.
Pada pasal 18 juga memiliki bbrp poin yang rancu salah satunya berbunyi, "Pertunjukan Musik melibatkan promotor musik dan/atau penyelenggara acara Musik yang memiliki lisensi dan izin usaha pertunjukan Musik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,"