Lihat ke Halaman Asli

F. I. Agung Prasetyo

Desainer Grafis dan Ilustrator

Mengapa Saya Mengantar Ibu Saya ke Pengadilan untuk Bercerai?

Diperbarui: 28 Juni 2022   02:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi bubrahnya rumah tangga. credit: pixabay/stevepb

Disclaimer: Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membuka aib atau apapun namanya, namun dibuat untuk tujuan klarifikasi atas berbagai hal yang terjadi di masa lalu yang imbasnya terasa dan berjalan hingga jauh sesudahnya. Di lain pihak, karena saya sendiri yang mengantarkan ibu saya ke pengadilan (bukan pengadilan agama namun pengadilan umum); saya memperoleh tekanan juga dari sikap saya tersebut. Dari keluarga. Juga dari lingkungan sekitar. Poin 'mengapa' ada di akhir artikel.

Tulisan ini dibuat segamblangnya, dengan setransparan mungkin, dengan sudut pandang sayaapa yang saya lihat dan berusaha memahami situasi dari hal yang simpang-siur dalam keluarga saya (dengan masih orangtua sebagai kepala dalam susunan teratas), dibuat sebagai pembelajaran juga karena masukan dari beberapa teman. 

Jika tulisan ini diibaratkan pisau, sedari awal tulisan ditujukan untuk memotong serta menguliti sesuatu yang selama ini tersembunyi di dalam yang (agaknya) sikap yang kasatmata dan terlihat secara keseharian berhasil disalah-artikan oleh sebagian orang di sekeliling, termasuk anggota keluarga sendiri.

*

Sampai keributan terakhir orangtua yang saya tau, saya pikir itu juga tak akan terselesaikan. Karena seperti yang sudah-sudah, komunikasi tidak berjalan dua arah. 

Ketika ibu saya mengajak saya untuk ke KUA kemudian, saya masih membutuhkan beberapa waktu untuk berpikir ke depannya. Hingga akhirnya saya mengiyakannya. 

Mungkin agak aneh jika pasangan Katolik mengurus perceraian ke Pengadilan Agama; karena selain secara umum sebuah perceraian tidak diakui, seharusnya kanal yang pas adalah Pengadilan Negeri. 

Namun ibu saya bersikeras karena dokumen yang dipunya hanyalah bukti nikah secara Islam di KUA Wonokromo setelah sebelumnya diantar ke KUA Pepelegi. 

Dan itupun perlu bolak-balik juga; namun agaknya tak membuat lemah ibu saya (yang saya heran) karena biasanya sering mengeluh jika berkendara jauh apalagi saat itu hanya bersepeda motor.

Selama ini ibu saya meminta diuruskan surat pemberkatan di gereja (karena pada akhirnya ibu saya memeluk Katolik dari sebelumnya Islam). Namun hingga saat terakhir menuju ke pengadilan itu surat pemberkatan gereja itu tak kunjung diurus dengan alasan, "itu hanya buat formalitas". 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline