Lihat ke Halaman Asli

Katedrarajawen

TERVERIFIKASI

Anak Kehidupan

Puisi | Kebiri dan Nurani

Diperbarui: 30 Agustus 2019   15:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar : Canva|katedrarajawen

Hari-hari ini, ramai sekali bicara tentang kebiri. Pelaku kejahatan seksual terhadap anak dihukum kebiri. Untuk pertama kali. Heboh sekali. Pro dan kontra terjadi. Ada juga yang tak peduli. Dipikir tak ada untung dan rugi.

Beginilah dunia ini. Masing-masing manusia punya pikirannya sendiri. Atas nama demokrasi bebas beropini.

Hukum kebiri membuat ngeri. Membuat alat vital tak berfungsi. Sebab itu dibilang keji. Para dokter demi kode etik menolak hukum kebiri. Melanggar hak asasi. Sementara undang-undang tentang hukuman kebiri sudah resmi.

Bisa jadi hakim sudah gerah sekali. Menjerit suara nurani. Pelaku pemerkosa anak sudah sembilan kali. Efek jera harus benar-benar terjadi. Pelaku harus mendapat tambahan hukuman kebiri.

Benar atau salah atau melanggar hak asasi. Semua masih dapat diperdebatkan lagi. Bila mengingat pelaku juga berlaku keji tanpa nurani. Pelaku seakan jadi korban kini. 

Anak-anak yang menjadi korban bisa trauma untuk waktu lama sekali. Hari ini dan nanti. Menanggung beban dan kehilangan harga diri. Merasakan derita sembunyi-sembunyi. Tak ada yang mengerti.

Bila dirasa memang kejam hukuman kebiri. Namun lebih kejam lagi bila membiarkan pelaku bebas beraksi kembali. Lebih kejam lagi melalaikan korban-korban yang akan terus mengalami trauma di kemudian hari.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline