Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Kebiri dan Nurani

30 Agustus 2019   15:04 Diperbarui: 30 Agustus 2019   15:14 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Canva|katedrarajawen

Hari-hari ini, ramai sekali bicara tentang kebiri. Pelaku kejahatan seksual terhadap anak dihukum kebiri. Untuk pertama kali. Heboh sekali. Pro dan kontra terjadi. Ada juga yang tak peduli. Dipikir tak ada untung dan rugi.

Beginilah dunia ini. Masing-masing manusia punya pikirannya sendiri. Atas nama demokrasi bebas beropini.

Hukum kebiri membuat ngeri. Membuat alat vital tak berfungsi. Sebab itu dibilang keji. Para dokter demi kode etik menolak hukum kebiri. Melanggar hak asasi. Sementara undang-undang tentang hukuman kebiri sudah resmi.

Bisa jadi hakim sudah gerah sekali. Menjerit suara nurani. Pelaku pemerkosa anak sudah sembilan kali. Efek jera harus benar-benar terjadi. Pelaku harus mendapat tambahan hukuman kebiri.

Benar atau salah atau melanggar hak asasi. Semua masih dapat diperdebatkan lagi. Bila mengingat pelaku juga berlaku keji tanpa nurani. Pelaku seakan jadi korban kini. 

Anak-anak yang menjadi korban bisa trauma untuk waktu lama sekali. Hari ini dan nanti. Menanggung beban dan kehilangan harga diri. Merasakan derita sembunyi-sembunyi. Tak ada yang mengerti.

Bila dirasa memang kejam hukuman kebiri. Namun lebih kejam lagi bila membiarkan pelaku bebas beraksi kembali. Lebih kejam lagi melalaikan korban-korban yang akan terus mengalami trauma di kemudian hari.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun