Kesabaran Imam Syafi'i, Cermin Bagi Pendidik Modern
"Ilmu bukan hanya soal cepat paham, tapi tentang kesabaran untuk memahami."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Pernahkah kita membayangkan seorang guru besar harus mengulang pelajaran puluhan kali demi seorang murid? Pada Rabu, 20 Agustus 2025, Republika memuat kisah Imam Syafii dalam artikel berjudul "Wahai Para Guru, Tirulah Metode Imam Syafii!". Berita ini memantik refleksi mendalam tentang makna kesabaran seorang pendidik.
Mengapa kisah lama itu kembali relevan bagi dunia pendidikan kita hari ini? Realitas sekolah modern menunjukkan masih banyak murid yang tertinggal, baik karena keterbatasan kemampuan maupun akses belajar. Maka, metode sabar Imam Syafii menjadi teladan yang tak lekang oleh waktu.
Sebagai penulis, saya merasa tertarik karena isu ini menyentuh inti persoalan pendidikan Indonesia: kesenjangan kualitas pembelajaran. Di tengah gempuran digitalisasi dan target kurikulum, kita seakan lupa bahwa inti mendidik adalah menyentuh hati, bukan sekadar mengejar hasil.
1. Kesabaran Sebagai Fondasi Pendidikan
Kisah Imam Syafii dengan muridnya, ar-Rabi' bin Sulaiman, menunjukkan bahwa kesabaran adalah fondasi utama dalam mengajar. Sang Imam rela mengulang pelajaran hingga 39 kali tanpa sekalipun mencaci atau merendahkan muridnya. Sikap itu bukan hanya mendidik, tapi juga membentuk karakter.
Pendidikan modern kerap terjebak pada standar hasil belajar yang serba instan. Guru dituntut mengejar target, sementara murid yang tertinggal dianggap beban. Padahal, ketelatenan justru bisa menjadi jalan keluar bagi anak didik yang lamban memahami materi.