Lihat ke Halaman Asli

Kanopi FEBUI

TERVERIFIKASI

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Menakar Kebijakan Perlindungan Privasi di Era Digital

Diperbarui: 18 Mei 2018   19:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Dok. Kajipost)

Data telah menjadi sumber daya baru untuk menggerakkan mesin bisnis di era digital. Tidak hanya digunakan model bisnis digital untuk meraup keuntungan, bisnis konvensional seperti keuangan dan transportasi juga mulai bergantung pada data sebagai motor inovasi.

Pada level negara, peran industri yang menggunakan teknik data analytics semakin menunjukkan taji. Di Amerika Serikat, sektor ini dinobatkan sebagai katalis pertumbuhan ekonomi paling berpengaruh, mencatatkan kontribusi 1,7 persen dari PDB. Di Inggris, sektor ekonomi yang berkaitan dengan pengumpulan dan analisis data menghasilkan 4,8 miliar nilai tambah kotor dan 73.000 lapangan kerja. Sementara di India, industri data analytics diproyeksi tumbuh delapan kali lipat menjadi 16 miliar dollar AS pada tahun 2025.

Pertumbuhan kontribusi data analytics bagi perekonomian adalah buah dari iklim bisnis yang mendukung terjadinya pertukaran data antarwilayah di seluruh dunia. Iklim tersebut dicerminkan oleh minimnya hambatan dalam pengumpulan dan pengolahan data yang sebagian besar diekstraksi dari aktivitas pengguna internet.

Namun, kegemilangan itu kini sedang terancam seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terkait privasi dan perlindungan data pribadi di dunia maya.

Ongkos Mahal Menggadaikan Privasi

Model bisnis di era digital memang memaksa kita menggadaikan data pribadi untuk kenyamanan dalam berinternet. Kita bisa memiliki akun sosial media, mendapat hiburan, hingga mengakses materi pelajaran dengan gratis.

Sebagai gantinya, kita memberikan hak pada perusahaan untuk mengekstraksi data yang diperoleh dari mengikuti apa yang kita lakukan saat menggunakan layanan mereka. Mulai dari aktivitas komersial---seperti berbelanja di platforme-commerce; bertransaksi menggunakan e-wallet, hingga aktivitas sosial---seperti menyukai foto di Facebook  atau me-retweet kicauan politik di Twitter.

Berbagai jenis data tersebut dilebur dengan informasi pribadi seperti alamat, jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, hingga pekerjaan. Kemudian data akan diolah dan dianalisis oleh algoritma khusus untuk berbagai kepentingan. Salah satu yang paling umum adalah menggunakan inferensi data untuk praktik personalized marketing.

Sederhananya, praktik ini memungkinkan pemasar menggunakan analisis data dari perusahaan teknologi untuk mengiklankan produknya kepada individu yang profilnya cocok dengan target konsumen mereka. Selain itu, ada pula teknik yang mampu menentukan berapa kemauan membayar (willingness to pay) seorang konsumen terhadap sebuah produk.

Dengan teknik ini, perusahaan bisa melakukan diskriminasi harga, yakni memberlakukan harga berbeda untuk produk yang sama kepada konsumen yang berbeda. 

 Sementara kita menikmati rekomendasi produk yang sesuai kebutuhan, kita sebenarnya juga sedang menanggung biaya yang substansial. Sulit untuk mengukur bagaimana konsumen dirugikan oleh praktik ini. Sebab, ekonomi terkenal dengan kelemahannya dalam memberi nilai pada hal-hal yang berkaitan dengan well-being, termasuk privasi individu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline