Lihat ke Halaman Asli

SATRIA KUSUMA DIYUDA

ya begitu deh...

Mungkinkah Isu Radikalisme Hilang dari Percaturan Politik Rakyat Jelita di Masa Depan?

Diperbarui: 8 November 2019   13:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Saya teringat film Iron Man 3, dimana konflik yang terjadi pada film tersebut berdasarkan pembalasan dendam seorang scientist bernama Aldrich Killian kepada Tony Stark karena hasil temuannya di acuhkan oleh sang jenius kala itu. Lalu Aldrich membuat sebuah tokoh fiktif yang bernama Mandarin. =

Di sisi lain, Aldrich juga melakukan penculikan kepada Presiden Amerika dan berencana menggantinya. Pada salah satu scene film, aldrich berujar ia dapat menguasai dunia dengan menciptakan supply dan demand, dimana pada waktu itu, ia berhasil menciptakan kekacauan dan disisi lain ia juga hampir berhasil menguasai pemerintahan Amerika sebagai alat untuk meredam kekacauan.

Artinya ia berhasil menguasai sektor keamanan dunia dengan menciptakan kekacauan melalui Mandarin (supply) dan menciptakan permintaan keamanan dengan menguasai pemerintahan Amerika (demand).

Lalu bagaimana dengan kampanye melawan radikalisme di Indonesia sendiri? Sejak zaman kolonial pemerintahan Hindia Belanda, kelompok-kelompok radikal memang telah ada, dan memang merupakan bagian dari perjuangan kemerdekaan Indonesia, baik yang bercirikan Nasionalisme ataupun bercirikan Agama. dan gerakan ini pun banyak berafiliasi dengan kelompok-kelompok bawah tanah baik kelompok kiri maupun kanan.

Bisa kita lihat bagaimana SI di zaman kolonial terpecah menjadi SI merah dan SI putih, ketika kelompok-kelompok di dalam SI sendiri merasa tidak puas dengan pergerakan SI dalam menentang kebijakan kolonial, sehingga banyak anggota SI yang pada akhirnya menjadi SI merah dan berubah menjadi PKI karena merasa gerakan radikal mampu melepaskan rakyat Indonesia dari kekuasaan kolonial, mereka bukanlah orang-orang bodoh dalam hal agama, beberapa pemuka agama, bahkan kyiai juga bergabung dalam gerakan radikal ini.

Sehingga pada akhirnya di tahun 1928, mereka melakukan pemberontakan yang gagal di Banten dan Sumatera Barat.

Pada masa penjajahan Jepang, untuk mempertahankan Indonesia dan membantu Indonesia mempertahankan kemerdekaannya, Pemerintah Militer Jepang di Jawa, mulai mengakomodir kelompok-kelompok Islam dan dididik secara militer yaitu gerakan Hizbullah untuk mengakomodir laskar-laskar Masyumi selain kelompok Nasionalis yang telah banyak membantu Jepang dalam perang Asia.

Kelompok Hizbullah ini kemudian mampu mengganti TNI, ketika Pemerintah RI harus melaksanakan perjanjian Renvil dengan menarik pasukan TNI ke Jogja.

Pasukan Hizbullah, berhasil mempertahankan daerah-daerah yang ditinggalkan oleh TNI terutama di Jawa Barat, dan atas restu Sukarno Hatta dan Jenderal Sudirman (perlu klarifikasi dokumen), Karto Suwiryo didapuk memimpin gerakan tersebut. Akibat pertarungan politik antara kelompok radikal kiri dan kanan, pada masa perdana menteri Amir Sjarifuddin, konflik mulai timbul, dan berakhir pada pemberontakan.

Kelompok Radikal Kiri kemudian melakukan pemberontakan Madiun, sedangkan kelompok radikal kanan Hizbullah, menolak kembalinya pasukan Siliwangi ke Jawa Barat dan berakhir dengan pemberontakan DI/TII di tahun 1950an.

Pada masa pemerintahan Orde Baru yang tersisa hanya gerakan radikal kanan saja, yang banyak menyebar di Selatan Jawa Barat dan sebagian Sumatera. Kemudian, kelompok-kelompok ini mulai diinfiltrasi dan akhirnya dikuasai oleh intelejen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline