Lihat ke Halaman Asli

Kang Win

Penikmat kebersamaan dan keragaman

Nikah ke KUA, Cerai ke PA

Diperbarui: 10 September 2020   15:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: cermati.com

Ini tulisan ringan tentang KUA (Kantor Urusan Agama) dan PA (Pengadilan Agama).

Ramai-ramai tentang fenomena meningkatnya jumlah permohonan gugat cerai telah menjadi topik yang hangat untuk ditulis baik berupa cuitan di media sosial maupun ulasan-ulasan dalam bentuk artikel. 

Di Kompasiana dalam dua minggu terakhir ini ulasan-ulasan mengenai topik ini terus bermunculan. Banyak tulisan-tulisan yang tayang di Kompasiana keliru menyebut KUA padahal yang dimaksud oleh penulisnya sebenarnya PA.

Tanpa bermakud merendahkan kualitas artikelnya, karena beberapa di antaranya label pilihan, penulis terdorong untuk menulis ini sekedar berbagi mengenai perbedaan kedua lembaga ini (KUA dan PA) dalam kaitannya dengan perceraian.

Terlebih dahulu perlu digarisbawahi bahwa meski memiliki embel-embel agama pada namanya, kedua lembaga ini hanya berkaitan dengan Warga Negara Republik Indonesia yang beragama Islam.

PA (Pengadilan Agama) adalah lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung RI. Ia setingkat dengan PN (Pengadilan Negeri). Jika di atas PN ada PT (Pengadilan Tinggi) yang merupakan peradilan tingkat banding, maka di atas PA ada PTA (Pengadilan Tinggi Agama).

Sedangkan KUA (Kantor Urusan Agama) adalah instansi vertikal di bawah Kementrian Agama (Kemenag) RI. Sebagaimana diketahui, agama adalah salah satu sektor yang tidak didesentralisasikan ke daerah. KUA melaksankan tugas dan fungsi Kantor Kemenag kabupaten/kota di tingkat kecamatan. 

Salah satu tugas dan fungsi KUA adalah yang berkaitan dengan pencatatan pernikahan pasangan calon pengantin yang berniat melaksanakan akad nikah  di kecamatan yang menjadi wilayah kerjanya, sesuai dengan PMA 20 tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan. Sebelum adanya PMA tersebut, pencatatan nikah dilaksanakan oleh KUA tempat domisili calon pengantin perempuan.

Ilustrasinya begini. Jika seorang perempuan muslim dari Kecamatan A akan menikah dengan seorang pria muslim dari Kecamatan B, maka pernikahan itu akan dilakukan pencatatan oleh petugas dari KUA Kecamatan A. 

Jadi pencatatan pernikahan dilakukan atas dasar domisili mempelai wanita, bukan berdasarkan tempat dilaksanakannya akad nikah. Baru sejak dikeluarkannya PMA No 20 di atas, pencatatan pernikahan didasarkan pada lokasi tempat dilaksanakannya akad nikah.

Dalam sebuah acara akad nikah, petugas KUA bertindak sebagai Petugas Pencatat Pernikahan bukan yang menikahkan. Sedangkan menikahkan dilakukan oleh ayah atau wali hakim dari calon pengantin wanita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline