Lihat ke Halaman Asli

Kang Dri An

Blogger pemula yang hobi menonton film, traveling, dan wisata kuliner

Hujan, Kenangan, dan Aku

Diperbarui: 5 Oktober 2020   15:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pemandangan siang menjelang sore ini romantis sekaligus mencekam. Jarang sekali kutemui dua suasana berlawanan hadir dalam kurun waktu yang bersamaan. 

Romantisme hujan dengan curah sedang, sinar matahari yang masih cukup terang, angin yang tidak begitu kencang, namun diiringi petir yang hadir cukup sering dan lantang. Karena seringnya, langit seperti dihiasi lampu disko. Berkelap-kelip dengan caranya yang mengerikan. 

Ketika langit sedang terlihat murka, tak segan ia mengeluarkan dua jenis petirnya yang paling dahsyat. Pertama, petir dengan suara dentuman kencang disertai getaran. Kedua, petir dengan suara seperti dahan pohon yang patah. 

Di kampung halamanku, petir tidak pernah terdengar mengerikan seperti di Kota Hujan ini. Sudah satu tahun lebih aku tinggal di Bogor dan mulai terbiasa dengan suasana ini. Terlalu terbiasa, hingga dengan sengaja kubuka jendela kamar. 

Aku menikmati hujan dan petir secara langsung, seperti menyaksikan orkestra di dalam gedung opera. Kudengarkan dengan saksama, komposisi indah dari tetes demi tetes air yang berjatuhan dari awan kumulunimbus ke atas seng, genting, talang, genangan air. Suaranya sangat merdu.

Beberapa menit kemudian, mendadak rasa takut itu menghilang sama sekali, tak berbekas. Barangkali, katup adrenalinku mulai imun dan tak sensitif terhadap gertakan petir-petir ini. 

Barangkali, amigdala di otakku sudah tidak mampu merasakan kengerian di level ini. Atau mungkin hujan ini berhasil membangkitkan kembali memori kelamku di masa lalu, sehingga kembali membuatku mati rasa.

Sebetulnya bukan memori kelam, hanya garis panjang romansa yang kini terputus dan kutinggalkan. Yang membuat kelam adalah peristiwa penghancuran sedahsyat bom nuklir yang seseorang jatuhkan tepat di pusat hidupku. 

Sehingga setelahnya, setiap detik yang bergulir di sana terasa berat dan menyiksa. Setiap jengkal tempat di sana merekam banyak sekali kenangan manis, namun ketika kuputar ulang, rasanya getir dan menyakitkan. 

Hatiku kini laksana kota mati. Sepi tak berpenghuni. Terlalu banyak kerusakan. Karenanya, aku memutuskan untuk pindah ke kota yang banyak orang sebut Kota Hujan. Namun aku menyebutnya kota pelarian, kota penghapus kenangan, kota penyembuh luka. 

Walaupun kini Bogor telah mengalami banyak kerusakan, namun sebesar apapun kerusakan ekologi yang dialaminya, tidak membuat trauma penduduknya. Lain halnya dengan kerusakan hatiku yang menyisakan radiasi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline