Lihat ke Halaman Asli

Badruz Zaman

Penghobi olah huruf A s.d. Z

Mendorong Demokrasi Susbstansial

Diperbarui: 6 Oktober 2021   06:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demokrasi kita saat ini adalah electoral. Ya, demokrasi dengan ‘pemilihan’. Ada Pemilih dan ada yang dipilih. Yang dipilihpun sudah disediakan oleh partai politik. Didaftarkan ke KPU. Lalu, terpilihlah pemimpin dan wakil rakyat. 

Demokrasi proseduralkah? Mungkin iya, karena pengaturan di UU Pemilu dan Pilkada mengatur prosedur teknisnya. Jika KPU dan Bawaslu hanya menyelenggarakan teknis atau prosedur maka tidak salah pula dari perspektif perundangan. 

Karena UU Pemilu dan Pilkada memang UU spesial mengatur Pemilu dan Pilkada yang disana mengatur kewenangan KPU dan Bawaslu secara prosedural.

Jika bicara demokrasi seutuhnya maka UUD 1945 lah yang menjadi kitab pokoknya. Banyak sekali UU sebagai penterjemahan UUD 1945 dalam menyelenggarakan negara ini untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. 

Itulah demokrasi kita; dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Yang dipilih adalah perwakilan dari rakyat, yang memilih juga rakyat, dan kesejahteraan 5 (tahun) kepemimpinan untuk rakyat. 

Pemilu (electoral) hanya sebagai alat saja untuk pergantian pemimpin sehingga keberlangsungan penyelenggaraan negara terus berjalan tanpa gangguan. 

Pasca Pemilu, selama 5 (lima) tahun berjalanlah kebijakan dan anggaran untuk mewujudkan amanah UUD yaitu mensejahterakan rakyat. Demokrasi kemudian tidak lagi prosedural dan electoral, namun demokrasi substansial mewarnainya disini. 

Selama 5 tahun kepemimpinan suatu rezim, pengertian demokrasi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat juga masih tetap sama. Karena Pemilu memang bicara salah satu perangkat penting kesejahteraan (untuk) rakyat.

Pertanyaan kemudian muncul; Apakah ketika Pemilu tidak bisa terwujud demokrasi dalam arti substansial? Bisa saja terjadi, namun tidak berhenti pada Pemilu. Syaratnya, partisipasi masyarakat atas dasar kesadaran, bukan atas dasar mobilisasi (uang). 

Dasar keasadaran berpartisipasi ini melibatkannya tidak hanya waktu memilih di TPS yang hanya beberapa menit saja. Namun partisipasi mulai dari tahapan awal seperti pemutakhiran daftar pemilih, pencalonan, kampanye sampai hari pemungutan suara. 

Termasuk partisipasi dalam pengawasan netralitas para pihak dan media sosial sebagai ruang ekspresi yang menampung pendapat banyak orang dengan cepat. Panjang dan melelahkan tahapannya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline