Lihat ke Halaman Asli

Kang Jenggot

Karyawan swasta

Denny, Tamparan, dan Bandar Narkoba

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1333501315679436849

[caption id="attachment_180011" align="aligncenter" width="620" caption="Denny Indrayana/Admin (KOMPAS.com)"][/caption] Hari ini berita yang heboh, adalah cerita tentang Denny Indrayana. Mantan Staf Khusus Presiden Bidang Hukum yang sekarang menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM, dituding menampar seorang sipir, saat melakukan inspeksi mendadak ke LP Pekanbaru. Benarkah Denny menampar? Denny sendiri sudah membantahnya. Tapi dari parlemen sudah keluar lontaran pernyataan yang meminta SBY mencopot Denny dari jabatannya. Politisi Golkar dan PKS misalnya yang lantang menyuarakan itu. Mereka minta Denny di pecat. Bahkan Dirjen Pemasyarakatan yang notabene secara hirarki adalah bawahan Denny, mengisyaratkan membela anak buahnya yang diduga ditampar Denny. Pada fase ini, yang dimunculkan ke permukaan adalah soal dugaan tampar menampar. Ya, jika benar memang keliru seorang pejabat menampar aparatur di bawahnya. Tapi yang jadi pertanyaan kenapa yang diangkat bukan kasus LP dijadikan 'rumah' nyaman bandar Narkoba. Tapi bila memang benar LP di Pekanbaru itu dijadikan 'lapak' besar bandar narkoba, bahkan di pakai sebagai ruang mengatur jaringannya, mestinya si kepala LP, bahkan kepala Kanwil Pemasyarakatan di Provinsi itu yang merasa tertampar. Kerja mereka ngapain saja, sampai LP di jadikan sarang narkoba. Dan kalau tak merasa tertampar, ya pantas ditampar. Soal bobroknya pengelolaan LP sudah bukan rahasia lagi. Ahmad Taufik, wartawan Tempo, bahkan sempat bikin buku berdasarkan pengalamannya kala mendekam di penjara. Dan dalam bukunya, Ahmad Taufik memaparkan betapa LP itu dijadikan lapak bisnis. Dari mulai bisnis esek-esek, sampai narkoba kakap. Petugas menjadikan LP sebagai alat bisnisnya. Dan si penghuni bui pun memfungsikan sel-nya sebagai tempat nyaman berbisnis. Dan, kebobrokan LP kian terkuak, ketika ditemukan sel mewah milik koruptor Artalyta Suryani. Dan Denny yang mengungkap itu ketiak dia masih berkutat di Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Serta rentetan cerita lainnya, yang berkisah tentang jaringan narkoba yang dikendalikan dari balik jeruji besi. Harusnya Dirjen Pemasyarakat berkaca dulu pada wajah kinerja, sudah bereskah LP-LP yang jadi tanggung jawabnya. Kalau benar LP Pekanbaru dijadikan markas nyaman gembong narkoba, mestinya Dirjen Pemasyarakatan bertanya pada dirinya sendiri, sudah berhasilkan kerja yang dimandatkannya padanya. Harap diingat gaji para birokrat, termasuk para petinggi yang ngurusin LP sampai jajaran terbawahnya diongkosi oleh pajak dari rakyat. Jelas tak rela bila pajak yang disalurkan, ternyata justru menyuburkan peredaran dan jejaring perdagangan narkoba. Jadi saya heran, politisi Senayan berkoar dan lantang mendesak Denny di copot. Kenapa tak lantang juga mendesak para petinggi yang ngurusan LP ikut di pecat pula. Dan kenapa tak mempersoalkan kenapa LP dijadikan sarang peredaran narkoba. Dan, bila benar sipir itu tak koperatif, bahkan cenderung menutupi dan menghalangi aparat yang mau menangkap bandar narkoba yang ada dalam LP, saya kira pantas saja ditampar. Kalau membaca keramaian dari kisah Denny dan cerita tamparannya, saya teringat keluhan Amien Rais. Kata Amien, mau seribu pemimpin pun berganti di negeri ini, bila birokrasinya tak berubah dan tak kunjung juga bisa di reformasi, jangan harap negeri ini bisa berubah lebih baik lagi. Atau dalam kata lain, birokrasi yang bobrok biang utama dari morat-maritnya negara ini. Mau pemimpin itu nyalinya setengah dewa, percuma saja, bila birokrasinya tak mau berbenah diri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline