Lihat ke Halaman Asli

Kang Marakara

Pengangguran Terselubung

Puisi: Durhakalah Air Mata Telah Menjelma Batu

Diperbarui: 29 Mei 2020   08:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Menangislah alam. Tatkalah gerimis menikam awan, mendung tempat ia bersemayam dan di lahirkan, tempat pelukan penuh kasih sayang di labuhkan, tempat segala keluhan gunda-gulana di sandarkan. Tercabik-cabik hingga tampak hati berdarah memikul pedih, tercerai-berai tali kasih semenjak lahir tertanam dalam sanubari. Patah dalam bilangan sedih tak terhitung lagi, luka berdarah tersiram kedurhakaan yang seharusnya tak terjadi.

Air susu yang mengalir dalam urat nadi, pucuk cinta yang di tanam semenjak bayi, nutrisi buah keringat dan penderitaan yang tak terperih, lelah dan sakit bukan di anggap penghalang kasih, air mata tak di pedulikan telah menetes sepanjang detak waktu silih berganti.

Menangislah sejadi-jadinya, meraunglah sekuat tenaga, meratap menyesali nasip penuh durhaka, pada edaran siang dan malam yang selama ini terlupa, pada setiap tarikan dan hembusan napas tersia-sia.

"Emak, ampunkan beta."

"Emak, maafkan segala salah."

"Emak, sesal beta telah mencampakan kasih sayangmu."

"Sesal beta telah terbujuk manis dunia yang menipu."

Air mata telah menjadi batu, kutukan terlontar tersebab dalamnya pilu. Bukan tak tersiksa hati yang mencintai mengucap sumpah, bukan tak menderita jiwa penuh kasih mesti mengutuk diri.

Meraunglah dalam tersiksa, menangislah hingga akhir dunia.

Bagan batu, mei 2020




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline