Lihat ke Halaman Asli

Kafi Kurnia

TERVERIFIKASI

Mari Kita Belajar Politik dari Gado-gado

Diperbarui: 31 Mei 2017   12:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olah dari foto infojakarta.net

Situasi suhu politik yang memanas di Jakarta, membuat saya iseng kepingin mencari camilan yang heboh. Mulanya saya ingin mengajak mentor saya Mpu Peniti makan soto betawi favorit kami berdua. Namun beliau malah mengajak saya makan gado-gado di rumahnya. Dengan setengah hati saya mengiyakan juga ajakan itu. Karena gado-gado dan soto betawi jarak kenikmatan-nya sangatlah lebar luar biasa.

Tiba di rumah Mpu Peniti – saya diperkenalkan kepada seorang wanita, setengah baya. Katakan saja nama beliau Mbak Sisca. Dan tiba-tiba saja gado-gado menjadi sajian yang luar biasa menariknya. Mbak Sisca – ibunya asli dari Solo. Ayahnya kebetulan seorang warga negara Belanda. Mbak Sisca lahir dan besar di Belanda. Sejak kecil Ibunya sudah memperkenalkan beliau dengan aneka masakan Indonesia. Salah satunya adalah gado-gado. Setelah menyelesaikan SMA di Belanda, Mbak Sisca saking cintanya dengan masakan Indonesia, akhirnya minta izin kepada orang tuanya untuk merantau ke Solo; bertemu dengan keluarga besar Ibunya dan belajar lebih dalam soal kuliner Indonesia.

Sejak itu Mbak Sisca keliling Indonesia, dan pernah tinggal di Medan, Bandung, Blitar, Bali dan hingga Lombok. Beliau jantuh cinta “pol” sama masakan Indonesia.

Sore itu saya dan Mpu Peniti disajikan berbagai versi hidangan gado-gado. Kata Mbak Sisca kepada kami, “Awalnya saya mengira Gado-Gado itu cuma masakan yang sangat sederhana, namun setelah belajar 20 tahun lebih soal gado-gado baru kemudian saya sadar betapa rumitnya gado-gado itu. Terutama bila kita bedah dan kita gelar secara filosofis”. Saya dan Mpu Peniti awalnya cuma senyum-senyum saja sambil berpandangan mata. Gado-gado secara filosofis ? Nah, ini baru topik yang super heboh dan menarik.

Menurut Mbak Sisca, roh sebuah gado-gado ditentukan oleh saus kacangnya. Saus kacang tanah ini sesungguhnya cikal bakal roh kuliner Indonesia. Hampir semua kuliner Indonesia yang “beken” dan ternama pasti memiliki sentuhan saus kacang tanah ini. Mulai dari ketoprak, gado-gado, sate, batagor dan siomay, asinan, hingga sambal kacang untuk nasi uduk. Saya sempat garuk-garuk kepala, karena apabila direnungkan, pengamatan Mbak Sisca soal saus kacang tanah ini terasa benar juga.

Kacang tanah bukanlah tanaman asli Indonesia. Menurut sejarah, kacang tanah diperkirakan berasal dari Amerika Latin, lebih tepatnya dari negara Peru dan Brazil. Bukti tertua tentang kacang tanah konon ditemukan di kedua negara ini dan usianya sudah lebih dari 3.500 tahun yang lalu. Kemungkinan besar kacang tanah diperkenalkan ke Asia oleh para pedagang Eropa yang menyusuri jalur jalan sutera dan jalur jalan rempah-rempah lebih dari 1.000 tahun yang lalu. Kini kacang tanah memiliki keterikatan yang luar biasa akrabnya dengan hampir semua kuliner di Asia, termasuk di Indonesia.

Lanjut Mbak Sisca, saus kacang tanah ini memiliki resep dasar yang sangat sederhana, kacang tanah yang digoreng dan dihancurkan, ditambah bawang putih, garam dan gula merah (gula aren). Baru kemudian lewat persilangan budaya, saus kacang tanah ini bertambah kaya dengan asam, kecap manis, cabe, dan terasi serta rempah-rempah lain sehingga menjadi saus kuliner yang eksotis. Gado-gado sebenarnya cuma sekumpulan sayur mayur yang sederhana, namun karena diberi saus kacang tanah yang eksotis, maka jadilah ia kuliner yang ajaib.

Sore itu, Mbak Sisca menyajikan 3 bentuk gado-gado yang mengalami evolusi budaya yang berbeda. Yang pertama adalah gado-gado khas Betawi lengkap dengan sayur pare dan kencur. Yang kedua adalah karedok atau gado-gado dengan sayur mentah ala Sunda. Dan yang terakhir adalah pecel Blitar alias gado-gado Jawa Timur yang pedas. Kami mencicipi-nya dengan antusias, dan mulai merasakan jabaran dan tatanan budaya yang kini terasa membuat gado-gado menjadi sebuah filosofi yang ruwet.

Sembari melahap gado-gado, Mbak Sisca melanjutkan dongengnya, menurut beliau gado-gado ini adalah simbol sebuah perlawanan diam. Karena tidak ada bukti tertulis yang akurat soal gado-gado, Mbak Sisca membuat dugaan lewat sejumlah petualangan kulinernya. Konon menurut beliau, gado-gado kemungkinan besar adalah tiruan dari “salad” pada jaman Belanda yang kemudian diterjemahkan secara unik oleh para pembantu di dapur-dapur sinyo Belanda jaman dulu. Teori ini didukung oleh riset Mbak Sisca bahwa gado-gado ini ada dua tipe. Gado-gado yang bumbunya di ulek, kemudian sayuran ditambahkan kedalam ulekan atau campuran bumbu. 

Yang mana metode ini yang paling populer zaman sekarang. Dan gado-gado yang hampir punah adalah gado-gado siram, bedanya sayuran di racik jadi satu dan kemudian bumbu gado-gado baru disiram diatas racikan sayuran. Mirip cara membuat “salad” ala kuliner Barat. Mbak Sisca menuturkan bahwa beliau pernah makan gado-gado di Princen Park (Lokasari) di daerah Jakarta kota, dimana sayuran gado-gado mirip racikan “salad”, yaitu salada air, kentang, telur, dan irisan jagung manis. Lebih mirip sebuah “salad” ala kuliner barat dan saus kacangnya disiram diatas. Jadi perlawanan diam yang dimaksud Mbak Sisca adalah kemungkinan dijaman Belanda dulu ada pihak-pihak yang tidak mau kalah dan “salad” ciptaan barat kemudian di Indonesia-kan dengan saus kacang.

Kata gado-gado sendiri kemungkinan menyiratkan arti bahwa gado-gado memang merupakan makanan pembuka (appetizer)  yang bisa di gado tersendiri dan tanpa harus disantap bersama makanan lain. Ini salah satu bukti bahwa riset Mbak Sisca punya tinjauan sejarah yang cukup akurat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline