Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Perjalanan Cinta

Diperbarui: 1 Desember 2017   22:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Primadona kampus. Tidak berlebihan jika sebutan ini saya berikan pada ibu dari anak-anak saya, mantan pacar saya yang harus putus pada 11 November 2014 lalu karena Ia terlebih dahulu dipanggil oleh-Nya. Pertemuan tak disengaja pada acara perkemahan pramuka yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa & mahasiswi D2 Jurusan Bahasa Universitas Muhammadiyah Surakarta 1988 lalu. 

Kebetulan ketika itu, saya yang sebagai aktivis pers di kampus mendapat tugas untuk meliput acara tersebut yang berlokasi di Bumi Perkemahan Candi Sukuh, Karanganyar. Malam itu, syahdu dan dinginnya kawasan candi Sukuh membuat saya dan salah seorang pembina senior berkeliling dari kemah ke kemah untuk mencari inspirasi catatan ringan bakal bahan tulisan untuk media kampus.

Hitam manis, pendiam dengan senyum tipis yang teramat manis. Ia menyambut kami di salah satu kemah mahasiswi D2 Bahasa Indonesia. Identitas sebagai aktivis senior di kampus, membuat keakraban dengan seisi kemah mudah terjalin. Keceriaan sambil diselingi gelak tawa kerapkali terjadi. Namun tidak bagi seorang dara hitam manis yang telah mencuri perhatian saya dari awal. 

Ia hanya sesekali tersenyum. Tipis namun cukup membuat jantung saya berdebar. Duh gusti ada apa ini?. Sebelumnya jujur saja, saya terkenal sebagai playboy kampus karena seringkali gonta-ganti pacar versi cinta monyet. Namun baru kali itu, saya merasa kelimpungan salah tingkah hanya karena semburat senyum tipis yang tersungging beberapa kali di depan mata ini.

Teman di sebelahnya, junior cewek yang sudah akrab dengan saya sebelumnya, tiba-tiba meminta saya menemaninya ke rumah penduduk terdekat untuk meminjam selimut. Rendahnya suhu daerah pegunungan membuat sebagian besar peserta kemah yang minim persiapan menggigil kedinginan. Sebagai senior yang merasa bertanggung jawab saya antar mereka menuju rumah penduduk. 

Kami pergi berempat. Saya, pembina senior teman saya, junior tadi, dan si dia. Ya, gadis tadi yang dalam sekejap telah mencuri perhatian saya. Kebetulan sekali, pucuk dicinta ulam tiba, pikir saya. Sembari berjalan menyusuri dingin, saya mulai memecah sunyi dengan basa-basi pertanyaan ringan kepadanya. Siapa namanya, asalnya, hobinya, namun sial Ia hanya menjawab sepatah dua patah kata singkat saja.

Jarak antara lokasi perkemahan dengan rumah penduduk sekitar 500 meter, tidak banyak informasi yang saya dapatkan. Singkat cerita selimut telah kami dapatkan dan karena sudah terlalu larut, kami bergegas kembali ke perkemahan karena acara api unggun akan segera dimulai. Masih sedikit memaksakan perjuangan, saya tawarkan padanya pertemuan esok pagi untuk menemaninya mengikuti rangkaian olahraga pagi. 

Diluar dugaan, Ia menyetujuinya dengan anggukan dan senyum. Kami berpisah kembali ke kemah masing-masing. Meriahnya acara api unggun tidak bisa saya nikmati. Pikiran mulai melayang kemana-mana. Belum pernah terpikir sebalumnya tentang wanita ideal yang akan mendampingi saya kelak, tapi kemunculannya malam ini jadi mengusik saya berfikir tentang hal itu. Gejala apa ini? Duh!

Tidur tak lagi saya rasa perlu saat itu. Seringkali saya terjaga dan menggerutu; "Kenapa paginya lama sekali......?" Begitu adzan subuh berkumandang, saya segera bergegas ke masjid kampung untuk sholat berjamaah. Setelahnya saya bergegas berganti pakaian dan menyambangi kemah si gadis semalam. Seisi kemah sudah siap dengan pakaian olahraganya masing-masing. 

Dibawah arahan pembina kami berjalan beriringan secara teratur dalam barisan yang santai namun rapi. Saya dengan sangat percaya diri berjalan disamping sang pujaan hati. Pembina senior yang kebetulan adalah sohib akrab saya, mulai mengerti gelagat saya. Ia senyam-senyum melihat kedekatan kami. Sekitar dua jam lebih kami jalan pagi, diiringi obrolan ringan dan santai. Saya agak menjaga image saya dengan menahan hasrat saya untuk menggombal. Karena saya lihat gadis ini lain, dia unik, berkualitas dan mahal. Sehingga tidak bisa didekati dengan cara yang murahan.

Dua hari diperkemahan biasa-biasa saja. Kami mulai disibukkan dengan program masing-masing. Saya mulai menyusun laporan untuk majalah kampus. Tidak ada pertemuan dan kejadian istimewa lagi setelah pagi kemarin. Tiba saatnya rombongan pulang kembali ke kampus.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline