Lihat ke Halaman Asli

Julkhaidar Romadhon

Kandidat Doktor Pertanian UNSRI

Miris, Cara Berpikir Mengenai Pangan (Bagian 2)

Diperbarui: 27 Agustus 2017   06:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada bagian dua ini, saya akan menyajikan tulisan dengan argumentasi yang sangat sederhana. Saya juga berusaha sedikit mungkin mengindari penggunaan kata-kata yang rumit dan berbelit-belit. Dengan harapan, jalan pikiran dari tulisan ini mudah dipahami dan dimengerti oleh banyak pihak. Sehingga, apa yang saya harapkan dari tujuan penulisan ini bisa tercapai.

Masih menurut Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial RI Andi Dulung. Pada tahun 2018, 10 juta keluarga miskin penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) otomatis tak lagi menerima beras rastra.

Dia menambahkan, "sasaran target penerima bantuan pangan non tunai itu juga agar ada peningkatan inklusi keuangan, dimana penerima kartu otomatis punya rekening bank. Kita salah satu terendah di Asia inklusi keuangannya baru sekitar 60%. Berkaca dari India, penerima manfaat ada 300 juta dari 1,2 miliar penduduk bisa dilakukan secara cepat sambungnya, target 10 juta penerima bantuan pangan non tunai pada 2018 tersebut bukanlah hal yang muluk-muluk. Nanti oktober ini baru kita tentukan mau start dari 6 juta dulu atau 7 juta penerima" (24/8/2017).

Dari pernyataan diatas, sepertinya alasan peningkatan inklusi keuangan merupakan alasan kuat dibalik penggantian Program rastra menjadi BPNT tahun depan. Pengurangan jumlah uang yang beredar di masyarakat merupakan bagian dari tujuan utama penerapan BPNT. Penarikan uang dari masyarakat dengan menaikkan suku bunga merupakan senjata andalan yang dilakukan Bank Indonesia (BI) selama ini dalam kebijakan moneternya. Pemerintah berpikir, dengan berkurangnya uang yang beredar laju inflasi bisa lebih di kendalikan sesuai dengan yang diharapkan.

Padahal nyatanya, golongan sumber bahan makanan lah yang lebih besar menyumbangkan inflasi dibandingkan sumber non bahan makanan. Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan merilis, bahwa diperkotaan laju inflasi bahan makanan bisa 70% : 30% jika dibandingkan dengan non bahan makanan. Untuk predesaan, laju inflasi lebih parah lagi yaitu bisa mencapai 80% berbanding 20%. Nah beras karena sebagai bahan makanan utama, sudah pasti penyumbang inflasi terbesar dari golongan bahan makanan. Semua ini pasti sudah diketahui oleh pemerintah yang dalam hal ini lembaga-lembaga terkait. Artinya juga disini, kebijakan moneter akan menjadi sia-sia jika kestabilan harga pangan tidak tercapai.

Selain itu, rujukan negara India sebagai negara yang paling cepat melaksanakan program BPNT juga kurang tepat. Seharusnya jika ingin merujuk, rujuklah ke negara asal pencetus voucher pangan ini yang notabene sudah lama menerapkannya yaitu Amerika Serikat (USA). Tetapi faktanya, menurut para pakar kebijakan pangan, justru negara USA sekarang malah sedang mempelajari skema rastra sebagai jaring pengaman sosial warga miskinnya, untuk menggantikan voucher atau food stampnya mereka.

Namun, kepercayaan diri Dirjen Kemensos seakan bertolak belakang dengan fakta yang ada. Hal ini terungkap waktu rapat koordinasi (Rakor) yang dipimpinnya sendiri di Hotel Sheraton Bandar Lampung Jum'at 4 Agustus 2017. (www.detiklampung.com). Padahal hanya beda beberapa hari saja. Peserta rakor mengungkapkan bahwa ujicoba BPNT mengalami berbagai kendala dan hambatan. Keterlambatan BPNT terlihat dari jumlah serapan yang baru 18 persen dari target.

Kendala tersebut antara lain; lambatnya distribusi Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) penerima BPNT, bantuan Rp 110.000 ke KKS yang terlambat, lambatnya pendirian e-waroeng, distribusi barang dari Bulog sering mengalami keterlambatan, mesin EDC dari BRI sering mengalami error hingga terdapat beberapa nama yang dobel dan beberapa nama yang salah.

Dua pernyataan yang agak berseberangan. Pertanyaannya, apakah semua permasalahan diatas bisa dituntaskan dalam beberapa bulan ke depan...? Logikanya, tahun 2017 saja ujicoba di 44 kabupaten/kota dengan 1,2 juta keluarga miskin sampai sekarang kendala yang dihadapi belum tuntas, apalagi tahun depan dengan 10 juta penerima di 416 kota.. sebuah tanda tanya besar ?

Artinya, kalau memang belum siap dan masih membutuhkan waktu untuk mempersiapkannya tidak perlu terburu-terburu dalam penerapannya. Seharusnya kendala ujicoba BPNT yang sudah teridentifikasi sekarang, bisa menjadi acuan untuk menunda pelaksanaannya tahun depan. Tetapi jika Kemensos merasa optimis mampu mengatasi permasalahan teknis tersebut tahun depan, maka saya beranggapan bahwa satu masalah telah selesai. Lalu masalah lain terkait swasembada pangan, stabilisasi harga, kesejahteraan petani apakah juga sudah terselesaikan. Tentu jawabannya tidak.

bpnt-2-59a201959648907caa114962.jpg

Selama ini, hasil pembelian beras petani oleh BULOG disalurkan melalui program Rastra. Artinya, jumlah serapan BULOG sebanyak 3 juta ton, dibagikan kepada masyarakat penerima rastra sebanyak 15,8 juta jiwa. Andaikan pada tahun depan program Bantuan Pangan Non Tunai dilaksanakan, artinya otomatis mereka tidak mendapatkan jatah rastra lagi. Pertanyaannya, jika pemerintah tetap memaksakan untuk menyerap sebanyak-banyaknya beras petani atau umumnya berkisar 4 juta ton, mau dikemanakan beras petani sebanyak itu... ?
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline