Lihat ke Halaman Asli

Ironi Pendidikan

Diperbarui: 28 Februari 2016   17:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan jaman sekarang ini merupakan sebuah ironi, terkhusus di negara kita ini Indonesia. Memang jika dibandingkan dengan pendidikan di luar negeri, sudah terlihat dari berat tidaknya pelajaran yang diterima siswa di sekolah. Perbandingan itu tak semata dari berat tidaknya, tetapi juga dari kualitas pendidikan di Indonesia ini.

 Jenjang pendidikan terkadang menjadi momok menakutkan bagi seorang siswa. Banyak siswa mengeluh karena sulitnya pelajaran atau padatnya waktu yang disita oleh sebuah kata yang bernama “belajar”. Belajar terkadang menjadi musuh, atau bahkan dibenci, yang berujung pada sebuah kata bernama “kemalasan”.

Di Indonesia ini, “belajar” lebih terikat dengan sekelompok buku, kertas soal, tugas, ataupun pekerjaan rumah. Hampir banyak waktu dari “belajar” terfokus pada ketetapan yang terdapat di dalam buku ataupun yang diajarkan oleh guru. Sebuah hal penting bernama “kreativitas” seakan mulai pudar atau mungkin sudah terhapus dalam diri seorang siswa. Cara berpikir kita dibentuk agar sama yang mana hal ini dapat mematikan cara berpikir kreatif di masing-masing siswa.

Ironi pendidikan yang sangat terlihat di negara ini, sesuatu yang berada di tiap taun terakhir belajar di suatu jenjang, Ujian Nasional. Bocor, ya, layaknya sebuah ember terisi air yang mana ember tersebut berlubang. Soal-soal Ujian Nasional ibaratkan air yang memenuhi ember, dan pihak yang berwenang ibaratkan ember. Ketidakjujuran, kecurangan yang menjadi sebuah tragedi, di mana pihak berwenang tak dapat menjaga ember dari mereka yang ingin mengambil air di dalamnya. Dan pada akhirnya air di dalam ember itu perlahan keluar melewati lubang-lubang dari pencuri air, lalu  habis.

Belum lagi siswa menghadapi satu hal yang bernama “Standar Kelulusan”. Hal yang membuat takut siswa karena susahnya standar tersebut. Standar yang harus dilewati siswa ini seakan membebani, seperti sebuah benda berat yang harus dipanggul oleh siswa. Belum lagi hal ini dicemari oleh para pelaku kecurangan, membuat mereka yang berpegang pada kebenaran harus mengalah pada sebuah kebohongan dan berada di bawah ketidakadilan.

Responden remaja mengatakan tingkat stres mereka sepanjang musim sekolah jauh melampaui apa yang mereka pikirkan untuk menjadi sehat, dari skala satu sampai sepuluh remaja berada di tingkat 5,1 dan remaja 5,8. (health.liputan6.com)

Kutipan yang diambil dari artikel liputan 6 ini memperlihatkan tingkat stress yang dialami oleh remaja, terlebih akibat musim sekolah yang mereka lewati. Remaja masa kini lebih sering mengalami stress akibat tekanan di sekolah ataupun faktor lain, hal ini dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental mereka.

Entah kapan terjadi sebuah hal bernama “perubahan”. Reformasi pendidikan ke arah yang lebih baik. Di mana tak adanya ember berlubang, derita siswa menanggung beratnya “Standar Kelulusan”, tekanan mental pada remaja. Di mana akan tercipta pendidikan yang tak hanya mengasah otak namun juga kreativitas dan karakter dalam diri manusia. Yang mana telah lama hilang ataupun terpendam dalam-dalam karena terkubur oleh sebuah kesamaan cara berpikir. Di mana ada sedikit kebebasan, siswa tak terkekang atau merasa terbebani. Pendidikan di mana siswa tak takut untuk masuk ke dalamnya, merasa bebas berksplorasi dan berkreasi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline