Lihat ke Halaman Asli

John Lobo

Pegiat Literasi dan Penggagas Gerakan Katakan dengan Buku

Rei-Rei Wara: Menghardik Roh Perusak Melalui Ejekan

Diperbarui: 9 November 2021   12:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rei-Rei Wara | Dok pribadi

Reba dalam perspektif etnis  Ngada dimaknai sebagai perayaan tahun baru dimana masyarakat mengungkapkan rasa syukur atas penyelenggaraan Tuhan yang diyakini sebagai Dewa Zeta Nitu Zale atas segala berkat dan kelimpahan yang telah dinikmati melalui hasil pertanian, peternakan, dll. selama satu tahun.

Berdasarkan perhitungan kalender adat, upacara syukur tersebut dilaksanakan sejak bulan Desember mulai Reba Bena hingga Reba Loga yang dirayakan pada bulan Maret. 

Masyarakat Deru yang ada di Desa Nenowea merayakan Reba pada awal bulan Pebruari. Kekhasan orang Deru merayakan Reba terungkap dalam berbagai bentuk nyanyian dan tarian (sedo uwi) dan ritus-ritus penting sebagai perayaan syukur dan permohonan berkat. Ada tiga hal yang direfleksikan dalam upacara Reba Deru yakni manusia (kita ata), rumah adat (kopo molo lego zi'a sao meze teda lewa) dan tanah (tana meze watu lewa- ngia ngora)

Salah satu ritus Reba Deru yang dijalankan pada hari kedua adalah Rei-rei Wara atau ritual mengolok angin yang diyakini sebagai roh perusak. Bagi masyarakat lokal, Wara (angin) merupakan musuh leluhur pembawa malapetaka dan bencana yang merusak semua jenis tanaman. 

Oleh karena itu butuh strategi yang efektif untuk mengalahkannya. Menurut Didakus Lina tokoh adat asal Woeloma, menuturkan bahwa tradisi yang berkembang untuk mengalahkan angin sebagai sumber bencana adalah melakukan penolakan dengan cara mengusirnya. Pengusiran ini dilaksanakan agar masyarakat bisa hidup tenang dan segala tanaman bisa aman dari ancaman penghancuran. 

Penolakan terhadap angin oleh masyarakat Deru  dilakukan melalui kata-kata yang keras bahkan mengeluarkan kata-kata makian (momo). Hal ini ditunjukkan lewat syair-syair yang dilantunkan dalam bentuk dialog atau puisi berantai antara seorang pemimpin dengan para peserta lainnya dalam ritual Re-rei Wara.

Menurut Dr.Watu Yohanes Vianey, M.Hum pengajar Ilmu Filsafat di Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, secara historis, Rei-rei wara juga  merupakan ritus yang diatur secara khusus untuk mengejek angin. 

Salah satu cara untuk menaklukan atau menghardik (mengalahkan) lawan (angin) melalui ejekan ternyata cukup efektif. Melaui berbagai ejekan bahkan makian (momo) dengan bahasa yang cendrung kasar, angin akhirnya bisa kalah. Oleh karena itu,pemaknaan Reba menurut masyarakat setempat juga berarti kemenangan atas Roh Perusak.

Masyarakat lokal | dok pribadi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline