Lihat ke Halaman Asli

Para Penempuh Jalan Sepi

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Telepon saya berdering, seorang kawan mengajak berbicara tentang bagaimana cara menolong para petani marginal di pinggiran kebun sawit para konglomerat di Riau, dalam diskusi saya menanyakan tanggapannya tentang adu visi-misi di kontes presiden kemarin malam di Balai Sarbini, jawaban kawan saya membuat saya terperangah, " Ahh, biar sajalah mereka hanya para pengejar syahwat berkuasa, kami-kami ini hanya para penempuh jalan sepi yang berjuang tanpa ada yang mengenali dan menghargai perjuangan kami"

Kredo pemberdayaan masyarakat seperti yang dikonsepkan oleh Lao Tze adalah "Datangilah mereka, tinggallah bersama mereka, belajarlah dari mereka, cintailah mereka, mulailah dari apa yang mereka ketahui, bangunlah dari apa yang mereka miliki dan setelah berhasil biarkan mereka yang tampil di depan dan mengatakan bahwa kami sendirilah yang membangun semua ini". Yaaa  jadi memang seperti itulah nasib para pemberdaya masyarakat, ya memang untuk dilupakan....

Para penempuh jalan sepi ini terdapat ribuan di Indonesia, usaha pembangunan alternatif yang dilakukan secara swadaya terpaksa dilakukan, karena memang tidak ada jalan keluar yang ditawarkan oleh penguasa. Demikianlah bertahun-tahun, bahkan berdekade-dekade, masalah sosial yang selalu sama : kemiskinan, akses pada pendidikan murah, pemberdayaan perempuan, akses pada kesehatan dsb yang semuanya akhirnya bermuara pada Human Development Index yang segitu-segitu juga.  Kondisi ini terkadang membuat para Ronin ini menjadi frustasi, karena masalah tidak pernah selesai.

Terdapat beberapa intervensi dan inovasi managerial untuk membuat proses pemberdayaan masyarakat ini seharusnya menjadi lebih baik, tema-tema seperti : Social Business, entrepreneurship dll, yang  ternyata hanya sekedar membisniskan masalah sosial, sehingga membuat metodologi menjadi semakin kompleks dan seakan-akan akademik tingkat tinggi untuk membuatnya lebih keren, dan yang jelas lebih mahal dan pada akhirnya  masalah sosial tetap tidak pernah terselesaikan secara komphrehensif.

Parameter-parameter tangible (seperti pendapatan per bulan dll) sepertinya tidak mampu untuk menjawab sustainibilitas proses pemberdayaan masyarakat, penambahan parameter yang intangible (pola pikir, paradigma, mentalitas dll) sangat diperlukan untuk membentuk kembali semangat manusia Indonesia sebagai orang yang seharusnya sudah bebas merdeka dan berahlak mulia.

Semangat solidaritas ekonomi seharusnya memang dikembalikan lagi ke manusia Indonesia, pendekatan ekonomi dengan perhitungan untung rugi secara finansial sepertinya tidak bisa lagi digunakan sebagai pendekatan utama dalam pemberdayaan masyarakat. Pada tahun 1928 Bung Karno mengatakan bahwa "Penjajahan itu semata-mata hanya masalah bisnis " dan memang yang mengawali menjajah kita secara besar-besaran adalah perusahaan konglomerasi pada masa itu, yaitu VOC. Lalu apa bedanya dengan kondisi kita di jaman sekarang ?

Ekonomi kerakyatan yang dicita-citakan oleh ayahanda kita, Bung Hatta adalah sekedar bagaimana kekayaan alam ibu Pertiwi ini dapat menyejahterakan manusia Indonesia seluruhnya, dan bukan hanya sebagian kecil saja, dan rakyat yang tidak kebagian cukup dihibur dengan bantuan sembako atau BLT dan juga mimpi-mimpi tentang Ratu Adil. Sesungguhnya siapapun yang jadi Presiden, bersyukurlah karena anda mempunyai rakyat yang benar-benar pemaaf dan berlapang dada, tetapi ingatlah bahwa kelak anda akan diminta pertanggungan jawab  di hadapan Yang Maha Esa, satu orang rakyat anda tidak mendapatkan haknya, maka bersiaplah jadi kerak neraka jahanam.

Tabik,




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline