Lihat ke Halaman Asli

Ali

Bekasi

Angela di Kereta

Diperbarui: 14 September 2022   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Rich Smith on Unsplash 

Hari ini, untuk pertama kalinya aku naik kereta. Bukan kereta jarak jauh, hanya kereta komuter yang akan membawaku keliling Jakarta.

Aku pergi mengikuti orang-orang: membeli tiket, menempel kartu dan berdiri berbaris di peron bersama penumpang lain.

Tepat jam 9 keretaku datang membawa iring-iringan gerbong nan panjang. Aku berusaha menghitung jumlah gerbongnya, tapi tidak bisa. Kereta bergerak sangat cepat.

Sesaat kemudian kereta pun berhenti. Terdengar bunyi mendesis di bagian bawahnya. Bunyi yang sama juga terdengar saat pintu terbuka. Orang-orang dengan sabar melangkah masuk dan memilih tempat duduk. Aku duduk di pojokan dekat pintu, di sebelah wanita cantik berbaju merah.

Di hadapanku duduk seorang gadis menarik. Lebih cantik dari wanita tadi. Dia memakai celana jeans dan kaos putih longgar. Mata indahnya sedang memandang sesuatu di kejauhan. Entah apa yang dipikirkannya. Aku memberinya nama Angela, karena dia cantik seperti bidadari.

Aku sering memberi nama pada orang yang menarik perhatianku yang belum kukenal. Juga memberi sebutan lain untuk orang yang sudah kukenal. Pernah, suatu kali aku memberi nama Profesor X untuk pria botak berkacamata tebal di toko buku. Lalu ada Ny. Keren, panggilanku untuk seorang wanita tua nyentrik di bandara. Aku menyebut kakakku Stupid, karena ia memang bodoh. Aku juga punya sebutan untuk wanita di sebelahku ini: Ny. Cuek. Kusebut itu karena dia terlalu sibuk dengan ponselnya.

Kereta bergerak perlahan, membuatku bersemangat memandang ke luar, ke arah pohon-pohon yang berlarian, barisan mobil di persimpangan, gerbong-gerbong yang meliuk-liuk hingga menampakkan gerbong paling belakang. Kesenanganku semakin bertambah tatkala kereta memasuki stasiun yang sangat besar: Stasiun Jatinegara. Aku tahu namanya dari papan yang menempel di dinding.

Tempat ini menarik perhatianku. Aku mengagumi arsitekturnya yang klasik beserta hiruk pikuknya. Di peron seberang tampak asap hitam mengepul dari lokomotif besar, disusul suara deru mesin dan klakson yang nyaring. Aku membayangkan duduk di dalam gerbongnya, memandangi sawah-sawah menghampar, melewati jembatan besi yang tinggi, dan memasuki terowongan panjang nan gelap. Khayalanku terhenti ketika kereta bergerak meninggalkan stasiun. Pada saat itu aku teringat Angela. Kulihat dia sedang tersenyum dan melambaikan tangannya padaku.

Mendadak, aku seperti kehabisan nafas. Serangan panik kadang-kadang terjadi padaku, tapi aku tahu cara mengatasinya. Aku memejamkan mata dan mengatur nafas, dan setelah sekitar tiga menit aku jadi lebih tenang.

Aku tidak melihat Angela waktu kubuka mataku. Pandanganku terhalang Ny. Cuek yang sedang tersenyum—wajahnya tampak teduh dan menenangkan. Ny. Cuek menawariku minum dari botol minuman miliknya. Aku, yang lumayan kehausan, menerima tawarannya dan minum dua tegukan. Karena sikapnya yang ramah, dia tidak lagi terlihat seperti orang yang cuek. Meskipun begitu, aku tetap memanggilnya Ny. Cuek. Panggilan itu sudah terlanjur melekat padanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline