Lihat ke Halaman Asli

YEREMIAS JENA

TERVERIFIKASI

ut est scribere

Kutukan Salib

Diperbarui: 4 Februari 2019   09:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suana aksi massa di Kota Solo yang menolak ornamen menyerupai salib. Sumber: http://vito.id/2019/01/21/ormas-keagamaan-protes-ornamen-proyek-jalan-mirip-salib-di-solo/

Paruh kedua bulan Desember 2018. Siapa menyangka kalau salib di kubur Albertus Slamet Sugiahardi di Purbayan, Kota Gede, Yogyakarta, dipotong bagian atasnya oleh warga setempat? 

Daerah Istimewa Yogyakarta yang selama ini dikenal toleran dan pluralis (Imam Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme Di Yogya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta: 2007, hlm. 47), mendadak tercoreng. 

Bagi sebagian orang, alasan bahwa hampir seratus persen warga setempat beragama Muslim, dan hadirnya simbol keagamaan non Muslim dapat memicu ketidakharmonisan sosial sebagaimana diklaim Ketua RT sulit diterima. 

Dalam negara demokratis, kalaupun satu saja warga negara yang berbeda, perbedaan itu tidak bisa dilebur ke dalam kesamaan yang diatasnamakan kaum mayoritas. 

Tetapi, ya sudahlah, toh peristiwa yang menggores luka pada keluarga almarhum Sugiahardi sudah terjadi dan tidak ada jaminan untuk tidak terulang lagi di masa depan.

Ingatan kita belum benar-benar menghilang ketika rasa benci pada salib -- ada yang melihatnya sebagai rasa takut -- kembali mencuat. Kali ini, meskipun belum jelas benar apakah itu Salib atau bukan, protes sebagian warga Solo terhadap ornamen mirip salib di jalan depan Balai Kota, membangkitkan lagi memori kita, bahwa rasa benci atau rasa takut pada salib itu masih eksis di sekitar kita. Menyimak komen para pembaca berita seputar kejadian ini, tiga kesan kuat dapat ditarik. (lihat misalnya, berita online [1], [2]).

Pertama, kelompok pembaca yang tidak mempersoalkannya dan tidak ingin menghubungkannya dengan simbol keagamaan tertentu. Kelompok ini bahkan membolehkan bangunan semacam itu karena Indonesia ini memang negara plural.

Kedua, kelompok pembaca yang berpendapat bahwa jika ornament itu benar merupakan salib, yang harus tersinggung adalah orang Kristen, bukan golongan non-Kristiani. Kelompok ini melihat bahwa orang Kristen yang seharusnya marah karena simbol salib -- jika itu betul -- kini diinjak-injak oleh pejalan kaki.

Ketiga, kelompok yang memaksakan simbol itu sebagai salib dan simbol Kristen, bahkan menghubungkannya dengan wali kota Solo yang memang seorang penganut Katolik. Ini adalah posisi keras yang dipilih sebegitu rupa sehingga penjelasan Majelis Ulama Indonesia bahwa ornament itu bukanlah salib melainkan simbol delapan mata angin, justru tidak digubris. 

Ornamen menyerupai salib di depan Balai Kota Solo yang mendapat aksi dan protes massa. Sumber: https://nasional.tempo.co/read/1166004/ornamen-jalan-mirip-salib-balai-kota-surakarta-akan-didemo

Tafsiran dari Dalam

Pertanyaannya, mengapa orang menjadi begitu peka terhadap dan menaruh curiga pada hal-hal yang berhubungan dengan salib dan simbol-simbol kekristenan lainnya? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline