Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Lulusan Terbaik SLTA Tidak Mau Menjadi Guru?

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh Bude Binda

Membaca tulisan seorang Kompasianer tentang perbandingan hasil survei sebuah lembaga pendidikan yang menempatkan Indonesia di peringkat 40 dari 40 negara yang diteliti dengan hasil Uji Kompetensi Awal Guru saya menjadi terusik.

Mengapa hasil survei itu hasilnya sangat mengecewakan. Selama ini gurulah yang dituding sebagai biang keladi belum bagusnya pendidikan Indonesia. Lantas apa manfaat sertifikasi guru yang telah berjalan beberapa tahun? Sertifikasi guru yang berupa tunjangan profesi satu kali gaji pokok yang diberikan kepada guru yang telah memenuhi syarat sertifikasi. Tambahan penghasilan ini tentu saja telah berhasil menambah penghasilan guru, namun tak akan serta merta meningkatkan kualitas dan kinerja guru. Kinerja atau profesional kan suatu sikap yang tumbuh selama bertahun-tahun, bukan sulapan sim salabim mendapat tunjangan sertifikasi langsung profesional. Mimpi kali......

Sementara itu ada uji kompetensi awal guru. Uji itu dilaksanakan tahun lalu untuk guru sebelum dia menjalani pelatihan guru atau PLPG di mana hasilnya bagi yang lulus akan mendapat sertifikat pendidik sebagai tiket mendapatkan tunjangan profesi. Sementara bagi yang belum lulus akan mengulang sampai lulus. Uji kompetensi awal tentu saja menggambarkan kemampuan sebagian guru ya pesertanya yang tentu saja entah berapa persen dari guru seluruh Indonesia.

Ada juga Uji Kompetensi Guru. UKG ini dilaksanakan untuk guru yang  sudah mendapat tunjangan sertifikasi. Hasilnya pun belum memuaskan. Nilai lulus 70 (dari skala 1-100). Ternyata belum separuh dari seluruh peserta yang lulus (di kabupaten saya). Bahkan guru Bahasa Indonesia SMP yang saya tahu baru satu yang lulus dengan nilai 71. Saya termasuk yang belum lulus, nilai saya 61.

Mengapa kemampuan guru demikian memprihatinkan? Apakah di depan kelas penampilannya juga tidak meyakinkan?  Perlu penelitian lebih lanjut.

Lantas, dengan kurikulum yang diganti lagi-lagi sim salabim akan menyelesaikan persoalan. Tentu saja tak semudah itu meningkatkan kualitas, kinerja guru hanya dengan mengganti kurikulum. Apa lagi kurikulum 2013 masih penuh dengan pro dan kontra. Terutama dihapusnya mata pelajaran bahasa daerah dan hanya dimasukkan ke ekstra kurikuler serta berbagi jam dengan seni budaya, tak lagi berdiri sendiri.  Untuk SD menjadi kontroversi ketika IPA dan IPS dimasukkan ke dalam Bahasa Indonesia.

SDM GURU

Sekarang mari kita telaah sumber daya manusia seorang guru. Lulusan SLTA terbaik, dengan nilai yang bagus, atau katakan siswa yang pintar ternyata biasanya tidak masuk kuliah di jurusan atau fakultas keguruan. Mereka lebih memilih untuk mewujudkan keinginannya menjadi dokter, insinyur, pilot, pegawai bank. Guru belum menjadi cita-cita yang difavoritkan.

Barulah yang prestasinya menengah-bawah melanjutkan studinya ke jurusan kependidikan. Dari sinilah akan mulai tampak mengapa SDM guru belum semuanya unggul. Sehingga hasil uji kompetensi pun tak bisa menutupi kenyataan, kalau memang SDM guru mau tak mau mengakui memang masih rendah!

Iming-iming sertifikasi guru belum menjamin siswa terbaik masuk jurusan/fakultas keguruan. Silakan ingat-ingat teman Anda yang terpandai ke kelas, apakah dia menjadi guru atau melanjutkan studi sekolah guru? Satu kali gaji pokok belum lebih menggiurkan dibanding dokter. Fakultas kedokteran dengan  biaya yang sangat mahal, namun menjanjikan nilai ekonomi dan status sosial yang tinggi. Tak pernah fakultas kedokteran sepi peminat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline