Lihat ke Halaman Asli

Bibit Haram

Diperbarui: 15 Agustus 2015   00:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Aku tahu dan sangat mengerti, apa yang kamu lakukan belasan tahun silam, bukanlah kesengajaan. Melainkan, hanya bentuk ketergesaan yang terpicu dari nafas takutmu. Masih kuingat dengan jelas, bagaimana sorot matamu yang selalu waspada, melirik dan mengamati setiap gerak. Sementara mulutmu tak henti-hentinya menggerogoti sisa daging dan serat di biji mangga yang kau pegang. Mangga yang kamu petik secara sembunyi-sembunyi di lahan sebelah.

“Kusno!” Sebuah panggilan yang membuatmu tersentak. Belum sempat merampungkan peran sebagai binatang pengerat, kamu melemparku begitu saja hingga terjatuh dan terpuruk di atas belukar.

Sama sekali tak memperdulikanku, buru-buru kamu usap mulut dengan kaos hitam dekilmu. Mungkin, itu cara termudah bagimu untuk menghapus dan melenyapkan barang bukti.

“Apa Mbah!” sahutmu, lalu berlari meninggalkanku.

Begitulah bibit yang kau tanam di dalam jeruji kesadaranmu. Pencuri kecil yang lugu.

Entahlah, aku sama sekali tak yakin jika kamu masih mengingat kejadian tersebut, lagipula apa pentingnya menceritakan hal itu padamu? Yang lebih penting dan seharusnya kau tahu adalah, kita telah dirawat oleh orang yang sama, orang yang kita sebut Simbah. Hingga kita besar di lingkungan rumah tangga yang sama, namun melangkah dalam dunia yang berbeda. Kamu dengan dunia pencurimu dan aku dalam kebisuanku.

Sejak kecil, jika cahaya mentari mulai menyerong ke arah timur atau ke arah barat, Simbah pasti memandikanku dengan tangannya yang berkerut namun masih terasa kekar. Saput bibirnya yang berkerut pun sering berkata, “Kelak, kau akan menjadi penyejuk, sekaligus saksi atas segala peristiwa yang terjadi di rumah ini!” Aku sama sekali tak tahu apa maksud ucapannya. Apa karena aku bisu dan tak mampu berkelakar? Atau karena sebab lain?

Apa pun itu, begitulah caranya memberikan wejangan, tentang aku yang katanya terlahir dan dirawat untuk menjadi penyejuk. Atau, mungkin juga karena Simbah tahu benar tabiat dan perangaimu yang buruk. Perangai beraura panas yang entah diturunkan dari atau oleh siapa.

Kenyataannya, kamu dan aku tahu bahwa kita sama-sama dipungut dan dirawat Simbah dengan sepenuh hati, kendati dengan cara yang berbeda.

~*~

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline