Lihat ke Halaman Asli

JBS_surbakti

Penulis Ecek-Ecek dan Penikmat Hidup

Pancasila adalah Sebuah Warisan Keajaiban Bangsa

Diperbarui: 3 Juni 2021   20:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber : kebudayaan.kemdikbud.go.id

Selamat malam,

Jujur saja untuk menulis dengan tematik yang sedikit ribet beberapa belakangan ini mulai tergeser dengan ketertarikan menulis fiksi seperti sebuah puisi. Ditambah suasana hati yang sedikit "melo" dengan apa yang dihadapi. Namun terkhusus melihat salah satu topik pilihan hari ini yang tepat memperingati "Hari Lahir Pancasila" begitu menggugah hati. Sebagai generasi yang dahulu kala mengecap pendidikan dasar hingga tingkat atas di pemerintahan orde baru, selanjutnya menjadi mahasiswa tepat reformasi berkibar di tahun 1998 sedikit banyak pasang surut terkait pengalaman pendidikan Pancasila berbeda apalagi di era ini.

Pasang surut di level pendidikan formal dulu yang memiliki khusus mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dan kemudian beralih menjadi PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganeraan). Terbesit kembali ke masa lalu dimana saat mata pelajaran ini diikuti maka tanggapan pertama adalah membosankan dan kurang penting bila dibandingkan dengan mata pelajaran Matematika, Fisika, ataupun IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) yang menjadi salah satu tolak ukur dalam penilaian ke jenjang pendidikan selanjutnya maupun melanjutkan ke perguruan tinggi.

Iseng-iseng bertanya pagi tadi kepada keponakan saya perihal apakah Pancasila itu maka si anak menjawab gelagapan alias hanya mengatakan dasar negara dan bahkan tidak hafal dengan lancar isi kelimanya. Menyambung cerita ini banyak perdebatan terkait perlu atau tidaknya mata pelajaran Pancasila untuk eksis diajarkan secara formal maupun tidak. Namun saya adalah seorang yang paling ortodok untuk mengatakan agar tidak terjebak pada sebuah "kesempurnaan" sebuah pendidikan dengan ingin melihat nyata implementasi terhadap sebuah hasil pengajaran. Kelihatan klise, namun bila sekarang dibandingkan dengan pengalaman mengikuti pelajaran ke Pancasilaan dulu meskipun sambil mengantuk mendengarkannya saya harus menjawab dengan serius "Kita membutuhkannya!".

Tanpa sadar dengan pola hanya menghafal yang dulu kita protes sebagai hal yang kuno dan pembodohan hari-hari ini menjadi sesuatu yang dirindukan kembali. Maaf saja, sebuah perilaku bangsa ini yang sering kali dengan terburu-buru merespon semua peninggalan rezim orde baru yang kala itu di label sebagai "status quo". Kemudian memberangus semua program yang tertinggal karena dianggap menghambat sebuah perubahan atau reformasi. Bahkan dulu dengan program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang mengharuskan setiap siswa ikut berpartisipasi dengan rentetan acara penutupan lewat malam suci dengan sebuah seremoni api unggun hingga kini masih terlintas di hati bahkan disitu kekerabatan, persaudaraan dan keterikatan dengan latar belakang yang berbeda tetap terjaga baik meski dari suku, agama dan ras yang berlainan.

Apakah saya yang menggap pengalaman ini berharga dan kemudian tanpa sadar membentuk sebuah identitas dalam bersahabat secara sempit? Dan bermasyarakat secara luas? Atau yang lain tidak mendapatkan dampak pengalaman ini? 

Bagi saya tidak penting menilainya namun secara pribadi kita masih memerlukan pelajaran formal pendidikan Pancasila di sekolah. 

Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah mata pelajaran Pancasilanya yang gagal atau para pendidik berikut metode/programnya yang tidak mengikuti zaman?

Perlu dipikirkan secara matang dan semangat yang sama demi membangkitkan kembali marwah dan semangat Pancasila yang adalah sebagai dasar negara dan identitas kita sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang hari ini begitu banyak yang hendak merusak keutuhan dan keluhurannya dengan sengaja membentrokkanya dengan isu agama, pengagungan konsep kapitalisme dan ancaman bangkitnya komunisme.

Tamparan keras dan sedikit membosankan apabila isu ini terus bergulir hanya karena kita yang tidak menyikapi dengan sebuah program pendidikan yang terstruktur dan masif. Yang mungkin sebagian dari kita telah tersesat dalam bertindak sebagai seorang warga negara. Negeri ini yang adalah tempat kita tinggal dan hidup bersama adalah unik bahkan super unik. Indonesia adalah penuh kebhinekaan, tidak terkonsentrasi pada sebuah daratan bahkan merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari ribuan suku yang pasti memiliki norma dan nilai yang berbeda satu sama lain sehingga kearifan lokal masing-masing terbentuk.

Sejarah panjang dari perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme juga telah mengorbankan para pahlawan dari Sabang sampai Merauke. Hingga sampai titik puncak 17 Agustus 1945 memproklamirkan diri sebagai negara merdeka Indonesia, dan tidak satupun yang bisa mengklaim bahwa hanya satu golongan yang paling berjasa dan kemudian membawa falsafah segelintir orang berdasarkan agama atau kesukuan dengan memonopoli dan mengabaikan yang lain. Dan kesemua itu oleh founding father kita bersama pelaku sejarah lainnya berhasil merumuskan dasar negara dalam sebuah keajaiban negara yakni Pancasila!

Pancasila atau 5 sila (dasar) dan dibungkus dalam sebuah ikatan "Bhineka Tunggal Ika" yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. Sangat jelas dan pantas dihormati bila memang masih mengakui diri sebagai warga negara kesatuan Republik Indonesia. Dan sadarkah kita ini adalah sebuah modal yang negara lain tak pernah miliki. "Diversity in Unity" atau keberagaman dalam sebuah kesatuan dengan menampung semua nilai/norma yang baik dan kemudian terakomodir dalam sebuah kekayaan luhur dalam bertindak dan wajib dibungkus dengan namanya toleransi dan harmonisasi. Jangan diperdebatkan lagi dan diadu domba oleh mereka yang kelihatan suci ternyata merupakan agen penghancur persatuan dan kesatuan negeri ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline