Lihat ke Halaman Asli

Abdul Karim

Pegiat Sosial

Salahkah Aku Luluskan Siswi Itu?

Diperbarui: 2 Mei 2016   10:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menjadi Kepala Sekolah bukanlah pekerjaan enak, terutama ketika mulai 2015  Menteri Pendidikan memberikan kewenangan penuh kepada Kepsek untuk menentukan kelulusan peserta didik. Hal itu saya alami dan sempat membuat ku susah tidur.

Tahun 2015 menteri Pendidikan Anies Baswedan membuat keputusan penting, yaitu memberikan kewenangan kepada kepala sekolah untuk menentukan kelulusan peserta didik, khususnya di tingkat SLA. Hasil ujian nasional tidak lagi menjadi faktor penentu kelulusan, melainkan hanya untuk evaluasi kemajuan pendidikan secara nasional.  Kewenangan Kepsek  yang sangat tinggi tersebut menjadi beban berat bagi saya, khususnya ketika akan  memutuskan peserta didik untuk tidak lulus.

Musyawarah dewan guru yang berlangsung sampai 3 hari membuat keputusan bulat untuk merekomendasikan satu orang peserta didik tidak lulus karena dari 3 syarat kelulusan tak satupun yang dapat dipenuhi oleh ybs. Pertimbangan kelulusan peserta didik ada 3, pertama ketuntasan belajar, yaitu menyangkut kehadiran di sekolah. Kedua hasil Ujian Sekolah dan raport sejak kelas 1. Ketiga berkelakuan minimal baik. Dari ketiga elemen tersebut, kami para guru membuat ranking bobot. Semua sepakat bahwa unsur KELAKUAN mempunyai bobot tertinggi dan menjadi faktor penentu.

Berdasarkan parameter tersebut, musyawarah dewan guru dengan mudah mencapai hasil akhir karena semua unsur tersebut telah dikuantifikasi menjadi angka-angka. Beban berat justru pada saat Kepsek akan menanda tangani Surat Pemberitahuan Kelulusan yang akan diserahkan kepada orang tua peserta didik sebagai bentuk pertanggung jawaban Sekolah terhadap amanah para orang tua. Terhadap peserta didik yang lulus, dengan berbinar-binar saya bubuhkan tanda tangan. Sebaliknya terhadap yang tidak lulus, saya harus shalat istihkarah, memohon petunjuk Allah SWT.

Di sinilah saya mengalami kegalawan yang luar biasa. Saya harus bertanya kepada diri sendiri, apa yang telah kami (para pendidik) lakukan selama 3 tahun ini. Mengapa ada seorang perserta didik yang gagal menyerap ajaran para guru, gagal memiliki kompetensi yang telah distandarkan, gagal pula menjadi manusia yang berattitude baik. Mengapa ini terjadi harus pada masa saya menjadi Kepala Sekolah. Saya harus membolak balik lagi halaman demi halaman dokumen produk Pemerintah yang disebut 8 Standar Nasional Pendidikan yang menjadi referensi kami dalam menyelenggarakan Proses Belajar Mengajar. Saya harus mereview Proses Bisnis dalam ISO yang diterapkan di sekolah kami.

Sistem yang diciptakan Pemerintah itu, maupun standar proses ISO sudah ideal. Mestinya, tidak akan ada peserta didik yang tidak sukses selama standar proses tersebut dijalankan dengan baik dan benar serta konsisten. Standar Nasional Pendidikan ini pula yang menjadi parameter dalam menentukan Akreditasi sebuah sekolah. Padahal sekolah yang saya pimpin TERAKREDITASI dengan predikat A.

Di sinilah titik balik itu saya temukan.  Lalu saya panggil Wakil Kepsek Bidang Kurikulum, Kepala Prodi (Program Study), Wali Kelas dan Guru BK (bimbingan konseling). Saya ingin mendapat laporan selengkap-lengkapnya disertai eviden yang akurat mengenai pembinaan peserta didik yang terancam tidak lulus tersebut. Di situ saya mendapat gambaran yang menggiring pada sebuah kesimpulan bahwa apapun yang dihasilkan,  anak didik bukanlah pihak yang dapat disalahkan. Dia hanya selembar kertas putih yang kosong.  Kontribusi para pendidik terutama kepala sekolah memiliki bobot yang paling besar.  Porsi tanggung jawab yang besar ini menjadi kebanggaan para tenaga pendidik, karena dalam posisi itulah para guru  bisa banyak berbuat dalam upaya mencerdaskan bangsa.

Saya akhirnya mengambil kesimpulan yang beresiko. Jika  ingin mencari kambing hitam atas hasil PBM yang failed, jangan mencari dalam buku atau dalam diri siswa. Kesalahan itu ada pada tenaga pendidik. Karena saya adalah kepala sekolah yang memimpin para tenaga pendidik tersebut maka oknum yang paling bersalah adalah saya. Kesalahan itu saya tebus dengan keputusan kontradiktif diluar standar yang berlaku saat itu. Saya LULUSKAN peserta didik itu, dengan segala konsekwensi yang harus saya pertanggung jawabkan kepada Musyawarah Dewan Guru.

Saya telah meminta maaf kepada beberapa tenaga pendidik atas veto tersebut. Saya hanya berharap suatu saat kelak dapat dibuktikan bahwa keputusan tersebut bukan keputusan yang salah.

SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline