Lihat ke Halaman Asli

Jabal Sab

Mantan Kepala Bidang Informasi di Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh

Budaya Minum Kopi dan Kisahnya di Banda Aceh

Diperbarui: 8 Desember 2022   11:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kopi bagi laki-laki dewasa di Banda Aceh, adalah konsumsi wajib setelah nasi dan lauk-pauk. Kopi telah mempengaruhi kultur ekonomi Banda Aceh dalam kehidupan sehari-hari. 

Mungkin kira-kira sampai 20 persen pengeluaran bulanan warga dibelanjakan di warung kopi. Namun konsumsi kopi bukanlah jenis  penyakit konsumerisme kapitalisme yang meresahkan. Konsumsi kopi yang umumnya adalah warung kopi tradisional berupa kopi saring robusta adalah bagian dari kultur konsumsi ala ekonomi kerakyatan. 

Mengapa? 

Warung kopi tradisional harganya terjangkau. Mencirikan budaya konsumsi masyarakat kebanyakan. Bukan representasi kelas sosial menengah atas. Warung kopi ini membuka banyak lapangan kerja: mulai dari pelayan, barista, penjual rokok, penjual berbagai jenis makanan: mulai dari nasi, mie Aceh, dan lain-lain, pembuat kue hingga tukang parkir. 

Satu warung kopi bisa menyerap sampai 10-15 tenaga kerja atau lebih. Berarti menghidupkan 10-15 dapur rumah tangga.

Kopi menjadi ruang publik yang inklusif, menjadi salah satu tumpuan interaksi sosial secara fisik yang lebih intens di era digital yang lebih cenderung pada interaksi jagat maya. Warkop menjadi instrumen menjaga tradisi komunal bagi warga Banda Aceh.

Kopi bagi anak muda masa kini menjadi tempat co-working space yang relatif murah. Mereka dapat mengakses internet bermodal segelas kopi seharga lima ribu rupiah tanpa batasan waktu.

Warung kopi saring atau robusta mampu bertahan di tengah masifnya perkembangan tren cafe kopi mesin atau yang menyajikan kopi arabica di Banda Aceh. 

Stimulus energi yang diberikan kopi menjadi pemacu etos kerja bagi pekerja informal dan pelaku usaha sektor kreatif yang pekerjaannya tidak terikat kantor dan jam kerja. Ini bermakna bahwa warkop tidak selalu identik dengan budaya malas dan santai-santai.

Cukuplah kopi menjadi kemewahan terakhir di tengah kondisi ekonomi yang katanya akan menuju resesi. Hanya dengan ke warkop, menjadi alternatif healing yang relatif jauh lebih murah bagi warga Banda Aceh dibandingkan hiburan dan healingnya warga kota besar. 

Gudang Kopi di Lam Ateuk

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline