Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Itsbatun Najih

Aku Adalah Kamu Yang Lain

Bakat Tiap Anak bak Tinggi Pohon Jambu dan Kelapa

Diperbarui: 14 Agustus 2018   12:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id

Kebersamaan anak dengan orangtua, terutama kepada Ibu, mulai berkurang. Kini, Ibu bekerja hingga sore menjelang. Sementara Ayah, berkewajiban bertungkus lumus mencari nafkah utama. Anak, lantas diakrabkan kepada kerabat-tetangga atau nenek untuk berasyik-masyuk bermain bersama. 

Model pengasuhan ini menggantikan pengasuhan tempo dulu kala Ibu masih mempunyai waktu berlebih menceritakan aneka pengetahuan kepada si anak. Seiring laju modernitas, celah ini lantas ditangkap dengan pertanda menjamurnya penitipan anak. Di tempat yang sudah menjamah perdesaan ini, anak-anak bermain, makan, dan bersenang-senang bersama teman sebaya hingga nanti dijemput kembali oleh orangtua.

Lepas itu, anak dihadapkan dalam bingkai ajang persekolahan, sekadar main-main untuk lekas belajar agak serius. Membanjirlah sebutan kelompok bermain (KB) dan sekolah PAUD (pendidikan anak usia dini). Dan, hingga di taman kanak-kanak (TK), si anak diharap sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung.

Berdasar hal ini, kebersamaan orangtua dan peranan terutama Ibu sebagai elan vital dan subjek pertama mendidik anak mulai tertanggalkan. Orangtua dicukupkan urusan asupan pendidikan si anak pada level formalitas macam demikian.

Gerak modernitas juga menghilirkan tidak sedikit lembaga formal pendidikan macam PAUD dan TK berlomba-lomba menarik hati para orangtua. Semisal di TK ini, ditambahkan pengajaran bahasa asing. Dan di TK sebelah, tersedia lengkap fasilitas belajar dan sarana bermain.

Dari sini, kiranya sudah dimunculkan benih-benih pemacuan agar si anak menjadi anak hebat dan jagoan; lancar berhitung, membaca, menulis, bernyanyi, berenang, dan bermusik. Ada hasrat anak dijadikan orangtua sebagai manifestasi ukuran agar mampu menjawab tantangan zaman dewasa nanti.

Hal ini berlanjut kala mulai sekolah dasar (SD) terpatri sistem pemeringkatan (ranking). Si anak cerdas adalah yang memperoleh nilai/angka paling tinggi di hampir semua mata pelajaran untuk kemudian menduduki rangking satu. Sebaliknya, anak-anak yang berkecenderungan biasa-biasa saja tidak ubahnya kebanyakan orang.

Ironisnya, tak sedikit anak yang hanya unggul di satu mata pelajaran/keahlian, akan terpental dari apresiasi karena tak kebagian peringkat kelas. Dari sini, anak lantas dileskan agar ia menjadi andal berhitung. Dengan artian, sekadar agar nilai/angka matematika membaik; padahal ia unggul di ranah kesenian, pandai menggambar.

Fenomena ini lantas terus berlanjut hingga jenjang sekolah lanjut atas (SMA) dan kemudian si anak masuk ke perguruan tinggi (PT). Basis/pondasi yang kadung dibangun kurang tepat itu disebabkan si anak dan terutama orangtua abai dan alpa memetakan keistimewaan si anak sedari usia dini. Kita sudah sering mendengar bahwa setiap anak mempunyai keunikan dan spesialisasi masing-masing.

Dan, menurut Idad Suhada (2016) dalam Psikologi Perkembangan Anak Usia Dini, harusnya, pemetaan dan pembacaan orangtua terhadap potensi otentik/bakat si anak sudah bisa ditemukan sejak usia balita. Kini, imbasnya kita pun akhirnya maklum dengan fenomena banyak mahasiswa merasa salah masuk jurusan/bekerja tidak sesuai "bakat", lantaran sedari kecil tidak terlatih menemukan potensi otentik dalam dirinya.

Peran orangtua dalam memperkuat basis pendidikan si anak terlebih dahulu ditekankan perihal pentingnya kesadaran kepada orangtua agar mereka tidak menjadikan si anak sebagai ukuran pembanding terhadap anak-anak lain. Si anak yang lebih berorientasi kepada dunia kesenian, akan tidak optimal manakala orangtua menghendaki untuk kuliah di jurusan arsitektur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline